Home » » Pernikahan Sang Kelana

Pernikahan Sang Kelana

Pernikahan - Setelah Sigit berkunjung ke rumah Fatimah, bertemu dengan kedua orangtua Fatimah lalu menceritakan hubungan adiknya dengan Brodin, maka terbukalah tirai yang selama ini menyelubungi hati H. Badrun dan istrinya.

gambar pernikahan

Mereka merasa bersalah telah menuduh calon menantunya macam-macam seperti buaya darat, playboy kampung, tak tahu diuntung dan predikat jelek lainnya.

Sekarang mereka menyadari siapa sebenarnya calon menantunya, cintanya kepada Fatimah tulus sehinga mampu menolak cinta yang lain. Sungguh jarang lelaki seperti itu di jaman ini, seperti sebuah mutiara dalam selokan, sedikit bau dan kotor namun berkilau saat dibersihkan.

Keesokan harinya, mereka diantarkan Fatimah menemui Brodin di kost-nya, daerah Mampang Prapatan.

Kamar kost Brodin adalah sebuah kamar berukuran 3 x 4 dengan kamar mandi di dalam. Hanya ada tempat tidur dan lemari plastik.

Brodin terkejut menerima kedatangan mereka, karena tidak memiliki ruang tamu, bergegas ia merapikan kamarnya lalu mempersilahkan mereka masuk ke dalam kamar. Berdesak-desakan mereka duduk di bawah beralaskan karpet berwaran hijau yang saking lamanya sedikit berlumut. Maklum, kamarnya laki-laki.

Setelah berbasa-basi sebentar, H. Badrun segera memulai pembicaraan.

"Gue dan Nyak lu, minta maaf atas kesalah-pahaman kita selama ini. Fatimah anak gue satu-satunya, makanya gue ingin melihatnya bahagia. Menjadi istri lu satu-satunya bukannya dimadu."

"Tidak apa-apa Be, memang ini resikonya punya calon menantu ganteng seperti saya. Banyak yang naksir."

"Muke lu penyok.." Semprot H. Badrun sambil tersenyum.

"Sekarang, lu balik ke Pasar Minggu. Minggu depan kalian gue nikahin. Bagaimana?"

Brodin diam. Karena ditunggu beberapa lama Brodin masih diam, H. Badrun mengulangi lagi pertanyaannya.

Brodin menarik nafas panjang, tapi belum membuka suara.

"Bagaimana Bang? Minggu depan kita menikah? Abang mau?"

Brodin menghela nafas panjang sekali lagi lalu berkata, "bukan maksud saya menolak, tapi jika saya datang ke sana hanya membawa badan saja, nanti bila saya melakukan kesalahan lagi, saya akan ditendang seperti hewan. Biar kere, saya masih punya harga diri."

"Maafkan kami telah berbuat seperti itu kepadamu, sungguh, kami menyesal melakukannya."

"Bagi saya, kejadian itu sudah memberi pelajaran yang sangat berharga tentang harga diri seorang lelaki."

"Terus bagaimana Bang?" Tanya Fatimah. Sementara H. Badrun hanya bisa diam.

"Saya merasa minder, Emak, orangtua saya satu-satunya tidak menyetujui pernikahan ini, sementara saya tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Saya merasa sendiri. Pantaskah saya jadi suamimu? Pantaskah saya jadi menantu Babe, seorang tuan tanah yang kaya?"

"Jangan ngomong begitu, Bang. Fatimah tulus mencintai Abang." Kata Fatimah.

"Ya Din, Babe sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Sudah, buang prasangka yang macam-macam, buang rasa ragu, kita buka lembaran baru. Bagaimana?" Kata H. Badrun.

"Kalau hanya mengikuti emosi dan ego masing-masing, selamanya kita tidak akan menjadi satu keluarga. Kami sudah menyadari kesalahan kami, makanya kami kemari untuk memperbaikinya." Sambung Nyak Fatimah.

Brodin menyadari kesalahannya.

"Maafkan saya Nyak, Be.." Jawab Brodin sambil mencium kedua tangan orangtua itu..

"Maafkan saya Non." Sambil mencium tangan Fatimah, saat mau mencium pipi, tangan H. Badrun menahannya.

"Sudah kebelet juga, masih jual mahal." Kata H. Badrun, sementara Brodin hanya tersenyum kecut.

Akhirnya Brodin kembali ke Pasar Minggu untuk mempersiapkan pernikahannya. Karena tidak ada seorang pun dari keluarga Brodin yang ada di Jakarta, maka Brodin meminta tolong kepada atasannya di kantor agar menjadi walinya.

Waktu pernikahan Brodin dan Fatimah pun tiba.

Hari Jum'at menjadi hari yang bersejarah bagi Brodin dan Fatimah. Tahap demi tahap proses adat Betawi seperti Ngedelengin, Nglamar, Bawa Tande Putus, Akad Nikah, Acara Negor, Tradisi Palang Pintu dan Resepsi, mereka jalani dengan penuh penghayatan. Sampailah pada acara resepsi pernikahan yang di meriahkan dengan acara musik dangdut.

Cukup meriah, tamu undangan bergiliran memberi ucapan selamat. Fatimah dan keluarganya sangat gembira, sementara Brodin sempat menitikkan air matanya. Emaknya, orangtuanya sendiri meskipun orangtua angkat tidak hadir di tengah kebahagiaannya.

Kehadiran teman-teman kantornya, Dani dan rombongan dari Blok M, Sigit dan keluarganya, Kang Anto dan tetangganya di Mampang, membuatnya terhibur. Tidak ketinggalan rombongan Mbah Gondo dan teman-temannya, meskipun kehadirannya tidak terlihat oleh tamu yang lain. Sementara para penunggu pohon ditugaskan untuk menjaga keamanan.

Acara berlangsung lancar dan aman, hingga tiba pada acara hiburan musik dangdut. Saat musik didendangkan dan penyanyi sedang bergoyang sambil mendendangkan lagunya, tiba-tiba lima orang naik dan menguasai panggung. Dengan pengeras suara mereka berteriak menantang sang pengantin laki-laki untuk berkelahi.

Penonton protes dan marah, namun kelima orang itu lebih garang. Sehingga mereka diam saja, menunggu apa yang akan terjadi.

"Ini Jakarta, kampung gue, jangan petentang-petenteng pamer kekuatan disini. Ayo kalau memang lelaki, keluar,  mari bertarung, kita buktikan siapa yang lebih jago. Biar semua orang di sini menjadi saksinya." Tantang salah satu orang tersebut.

Brodin gelisah mendengar tantangan itu, kalau di hari biasa mungkin ia bisa mengabaikannya. Tapi ini adalah hari pernikahannya, maka darah mudanya bergolak, matanya menyala merah, segera dilepaskan baju pengantinnya mau melabrak penantangnya. Tapi Fatimah dan keluarganya menahannya.

Tanpa sepengetahuan Babe dan Nyaknya, Mbah Gondo mendatanginya lalu berbisik, "Angger masuk ke kamar dulu, biar Mbah yang menangani mereka."

"Baik Mbah." Jawab Brodin.
"Saya mau pergi ke kamar, kalau ada yang nyari, bilang saja saya lagi buang air." Bisiknya kepada Fatimah, sambil berlalu masuk ke kamar pengantin.

Di atas panggung terjadi keributan ketika penonton melihat sang pengantin laki-laki bersama empat temannya menaiki panggung.

"Jawara tidak tahu aturan seperti kalian memang seharusnya dihajar. Datang ke pernikahan tidak memberi angpau malah membuat keributan, mari segera kita selesaikan urusan kita, mau berkelahi sendiri-sendiri atau main keroyokan." Kata Brodin garang.

"Cukup gue sendiri yang akan menghajarmu, tidak perlu bantuan teman-teman gue." Kata Burhan, pemimpin pengacau itu.

"Baik, mari kita mulai."

Terjadi perkelahian tangan kosong. Gerakan Burhan kuat dan cepat, menyerang dengan jurus-jurus dari Cimande. Namun yang dihadapinya adalah Mbah Gondo  dalam wujud Brodin, gondoruwo penguasa gunung Sumbing, pada masa hidupnya adalah seorang panglima perang di jaman Sultan Agung.

Sehingga serangan-serangan Burhan dengan mudah dipatahkan.  Dan, Brodin palsu segera menyerang musuhnya bertubi-tubi, ia ingin cepat menyelesaikan kekacauan ini.

Tendangan dan pukulannya laksana angin puting beliung melabrak musuhnya. Burhan kewalahan dan menjadi lengah sehingga pada suatu kesempatan, pukulan tangan miring Brodin tepat mengenai leher Burhan. Burhan terpelanting jatuh, belum sempat bangun sebuah tendangan telak menghantam perutnya. Burhan terjajar mundur lalu muntah, isi perutnya seakan diaduk-aduk.

Namun sebagai seorang Jawara pilih tanding, Burhan cepat menguasai dirinya, amarahnya mendidih, kini ditangannya tergenggam sebilah golok tajam. Diputar-putarnya golok itu, suara goloknya berdesingan seolah membelah udara, cahayanya berkilatan ditimpa sinar lampu. Tanpa basa-basi dan amarah yang memuncak, Burhan menyerang kembali. 

Brodin sudah bersiaga menyambut serangan lawan, ia bergerak menghindar ke sana kemari. Gerakannya lincah seperti burung Sikatan. Sudah berpuluh-puluh jurus dikeluarkan namun Burhan belum juga dapat melukai lawannya. Karena memegang senjata, Burhan merasa berada di atas angin, sehingga ia menyerang semakin cepat dan semakin kuat. Dan kesempatan itu datang, goloknya tepat menebas batang leher Brodin.

"Pletakk .." Bukan leher itu yang terbelah lepas dari tubuh, tapi golok yang dipegangnya itu patah menjadi dua. Burhan sangat terkejut melihat kenyataan itu, sampai-sampai mulutnya menganga, melongo. Belum habis rasa terkejutnya, sebuah tendangan Brodin tepat mengenai ulu hatinya.

"Hegg.." Burhan jatuh terduduk. Brodin mencengkeram lehernya, "bagaimana? Masih mau dilanjutkan?"

"Ampun Mas, gue menyerah."

"Bagaimana? Masih ada yang belum puas?" Tanya Brodin kepada keempat teman Burhan.

Dua orang teman Burhan melompat maju ke arena, disambut dua teman Brodin. Segera terjadi perkelahian dalam dua arena, satu lawan satu. Namun kedua teman Burhan bukan lawan teman-teman Brodin, para Gondoruwo anak buah Mbah Gondo. Dalam waktu tidak terlalu lama, keduanya terlempar dari arena dengan mulut perot dan muntah darah.

"Masih ada lagi?" Tanya Brodin.

Kedua orang yang tersisa, menyerah, mereka keder melihat ketiga temannya sudah dikalahkan lawan yang masih muda. Brodin lalu mengajak kelima orang itu duduk di meja tamu, menjamunya dan mengobati luka mereka.

Hiburan musik dangdut pun dilanjutkan kembali, dan para penonton kembali bergoyang mengikuti irama.

Ternyata, Burhan dan kawan-kawannya adalah orang-orang suruhan H. Bokir, orangtua tunangan Fatimah yang sakit hati melihat pinangan anaknya ditolak. Padahal sudah lama Fatimah dan anaknya dijodohkan tapi Fatimah berpaling kepada Brodin. Mereka memang disuruh H. Bokir untuk mengacaukan acara pernikahan itu, namun gagal, maka mereka pulang dengan kepala tertunduk.

Setelah keributan dapat diatasi, Brodin keluar, lalu kembali ke kursi pelaminannya.

"Abang tidak apa-apa?" Tanya Fatimah khawatir.

"Lu, tidak apa-apa Din?" Tanya Babenya, setelah melihat menantunya bertarung diatas panggung.

"Tidak apa-apa Be." Jawab Brodin.

"Siapa mereka?"

"Orang-orang suruhan H. Bokir, Be."

H. Badrun menghela nafas panjang, rupanya H. Bokir belum dapat melepaskan Fatimah bersama orang lain, malah berusaha membatalkan dan mengacaukan pernikahan ini.

Acara demi acara terus berlanjut dan hari bergeser semakin malam. Saat tamu-tamu sudah mulai berkurang, Brodin mencolek pinggang Fatimah.

"Masuk yuk, istirahat dulu, saya lelah." Ajak Brodin. Fatimah mengangguk.

Setelah minta ijin kepada kedua orang tuanya, mereka masuk ke kamar pengantin.

Di dalam kamar pengantin, Brodin langsung merebahkan badannya di atas ranjang. Rasa lelah seharian berdiri menyambut tamu, membuatnya mengantuk, sehingga sebentar saja ia terlelap.

Sementara Fatimah duduk di pinggir ranjang menantinya dengan sabar. Sambil menunggu, Fatimah membongkar kado-kado kecil yang diterimanya, lalu mencatatnya dalam sebuah buku. Siapa yang memberi kado, apa isi kadonya, sehingga suatu saat harus membalasnya. Kebiasaan yang masih dijalankan masyarakat kita untuk menjaga tali silaturahmi.

Lewat tengah malam Brodin bangun, segera ia membersihkan badannya, menggosok gigi dan mencuci mukanya. Fatimah tersenyum menyambutnya. Bukannya menghampirinya tapi Brodin malah mematikan lampu kamar lalu berjalan mengendap-endap keluar rumah.

Tiba-tiba ada suara berisik dari arah jendela dan atap rumah, tepatnya di atas kamar pengantin.

"Hhuaaah .. Gedubrak." Seseorang jatuh dari atap rumah, bangun lalu lari, disusul teman-temannya yang lain. Mereka ketakutan seolah melihat mahluk yang menakutkan.

Rupanya, mereka berusaha mengintip pasangan pengantin baru dalam menjalankan kewajibannya lalu dijadikan bahan obrolan di warung-warung kopi. Kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh anak-anak muda di kampung Fatimah.

Tidak lama kemudian Brodin masuk kembali ke dalam kamar.

"Sudah aman sekarang." Bisiknya kepada Fatimah.

"Gelap Bang, tidak di nyalain lampunya?"
"Ssst, tidak usah."
"Bukain bajuku dong, bang. Gerah rasanya." Pinta Fatimah.
"Mana resletingnya?" Tanya Brodin sambil meraba-raba tubuh Fatimah.
"Sebelah sini Bang." Sahut Fatimah, sambil mengarahkan tangan Brodin.
"Susah amat, bukanya. Dirobek saja boleh?"
"Jangan, ini baju sewaan. Pelan-pelan saja."
"Sudah." Kata Brodin sambil melepaskan nafas lega.
"Tali kutangnya nggak dibuka sekalian?" Tanya Brodin, Fatimah mendesis, "yaa bang."
Setelah terbuka semuanya, mereka tenggelam dalam lautan asmara.

Meniti alun demi alun, mengendarai gelombang demi gelombang dengan penuh kasih. Ketika sudah sampai pada puncak gelombang asmara, yang menghempaskan mereka ke pantai kesadaran, mereka melenguh. Lega, seolah bendungan yang menampung air, dibuka.

***

Pagi yang cerah
Senyum di bibir merah
Dari balik jendela
Sinar mentari lembut menyapa

Kita berdua
Yang t'lah berpeluk mesra
Menikmati hangatnya
Suasana jiwa insan bercinta

Kutidur didalam pelukmu
Diantara rambut yang terurai
Dan degup di dada
Kudengar kurasa
Membisikkan kata bahagia

Pagi yang terang
Berlalu tanpa kata
Hanyut kita berdua
Dalam lamunan malam pertama

Kau/ku tidur didalam pelukku/mu
Menetes air mata bahagia
Kau/ku berikan semua
Sepenuh jiwa
Dirimu/ku cintamu/ku
Dan segalanya untukku/mu

Reff;
Pagi yang cerah
Dan senyum di bibir merah
Sejuta rasa bahagia
Yang kau berikan

Tiada lagiYang dapat kupersembahkan
Hanyalah laguku ini
Sebagai ungkapan dan rasa cintaku

Jangan kau ragu
Kan segala yang terjadi
Setulus hati yang ada
T'lah kuberikan


Diiringi suara petikan gitar, bait-bait lagu ini mengalun merdu dari kamar pengantin. Seperti syair dalam lagu, di kamar itu, kedua sejoli tengah dimabuk kebahagiaan, mereka sudah mereguk manisnya air asmara dan merasakan indahnya malam pertama.

Lelahnya menjalani resepsi pernikahan seakan sirna, pahit getirnya masa pacaran seolah lenyap, yang tersisa hanya rasa bahagia.

Berdua mereka berada di dalam kamar itu, kamar pengantin yang dihiasi aneka rupa hiasan. Mereka mencurahkan segala kerinduan, kasih sayang dan hasrat terpendam yang selama ini mereka tahan.

Tiada lagi teriakan Nyak Fatimah, yang memanggil-manggil nama Fatimah, setiap kali melihat mereka bermesraan. Sekarang mereka sudah sah dan resmi menjadi sepasang suami istri

0 komentar:

Posting Komentar