Home » » Prahara Cinta Sang Kelana

Prahara Cinta Sang Kelana

Menikah?

Sudah siapkah aku menikah? Umurku masih 25 tahun, sanggupkah aku terikat sepanjang sisa hidupku dengan wanita yang sama? Yang bertambah umur akan bertambah tua dan berubah secara fisik. Bisakah aku setia? Terus punya anak, punya kewajiban mencari nafkah, mendidik dan membesarkan anak-anakku. Mampukah saya?

Pertanyaan seperti itu yang mengganggu Brodin setiap malam menjelang pernikahannya dengan Fatimah.

"Lebih baik dijalani saja." Batinnya gamang.

Sebulan sebelum pernikahannya, Brodin menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk minta doa restu ibu angkatnya serta mengajaknya ke Jakarta.

Alangkah terkejutnya ketika sudah sampai dirumah ibunya, ada seorang gadis yang ikut menyambut kedatangannya. Gadis berkulit hitam manis, rambut panjang dibiarkan terurai, badannya sintal dan mukanya bulat berseri. Mutiara hitam.
gambar prahara cinta
Brodin mengenalnya.

Sebelum sempat mengutarakan sesuatu ibunya berkata, "ini Lestari, katanya dulu temanmu waktu SMA, tetangga belakang rumah kita."

"Selama ini ia sering menemani dan membantu Emak dirumah." Lanjut Emaknya.

Brodin menghampiri lalu menyalami gadis itu, tetangga dan adik kelasnya di SMA. Meskipun mereka bertetangga namun Brodin jarang bertemu dengannya.

"Bagaimana kabarnya? Terima kasih telah menemani ibuku."

"Tidak apa-apa Mas, namanya juga tetangga harus saling membantu." Jawab Lestari.

Mereka terlibat perbincangan tentang masa-masa di SMA, teman-teman mereka, guru-guru mereka. Rata-rata teman-teman SMA mereka, khususnya yang perempuan sudah menikah.

"Kapan kamu menikah?" Tanya Brodin.

Lestari diam. Emaknya Brodin yang menjawab, "dia ini belum punya pacar, sepertinya cocok sama kamu. Ketika mendengar kabar kamu akan pulang, dia Emak ajak kesini. Emak sudah cocok sama dia."

Brodin diam terpaku mendengar penuturan Emaknya.

"Aduh, Emak ini aneh-aneh saja, pakai acara menjodohkan segala."

Suasana berubah menjadi canggung bagi mereka berdua, karena kebingungan akhirnya Lestari pamit pulang.

"Siapa gadis itu Mak?"

"Itu calon Emak buat jadi istrimu."

"Aduh Maak, kenapa tidak bilang dulu sama saya?"

"Kamu selama ini tidak pernah cerita kalau sudah punya pacar, jadi Emak carikan, lebih enak punya menantu tetangga sendiri."

"Cari menantu kok yang hitam."

"Biar hitam tapi manis, seperti hitamnya kereta api banyak yang menunggu. Baik hatinya dan tidak sombong."

"Tapi saya kan belum kenal baik Mak, sekarang bukan seperti jamannya Emak dulu, harus dijodoh-jodohkan. Saya bisa cari sendiri."

"Memang kamu sudah punya calon?"

Brodin mengangguk, lalu dengan sangat hati-hati menceritakan maksud dan tujuannya pulang ke Malang. Namun apa yang ditakutkannya justru terjadi, Emaknya tidak setuju.

"Emak sudah tua, hanya satu keinginan Emak, melihatmu menikah dengan Lestari bukan dengan yang lain." Kata Emaknya tegas.

"Kalau dia jadi istri kedua bagaimana Mak?" Tanya Brodin.

"Lambemu, tidak boleh, dia harus jadi istri pertama."

Brodin semakin bertambah pusing.

Untuk menghindari kesalah-pahaman lebih lanjut dengan Emaknya, Brodin meninggalkan rumah.

"Mau kemana kamu?"

"Ke rumah Endro Mak. Lama tidak bertemu."

Endro adalah salah satu sahabat Brodin yang sering main ke rumahnya sehingga Emaknya juga mengenalnya.

"Jangan lama-lama, nanti malam Lestari sama orang tuanya mau ke sini, menemui kamu."

Brodin menepuk jidatnya.

Sampai dirumah Endro yang menemui adiknya, Dewi. Endro sedang keluar mencari makanan. Dewi sangat mengenal Brodin, karena seringnya Brodin berkunjung ke rumahnya meskipun mereka jarang berbicara. Sekarang saat Endro tidak ada, Dewi menemani Brodin yang baru datang dari Jakarta. Hanya mereka berdua di rumah itu.

"Yek opo kabare Mas?" Tanya Dewi dengan bahasa Malang yang medok.

"Apik Dik, bagaimana denganmu? Tambah cantik saja." Jawab Brodin.

Dewi tersipu.

"Kapan rabi?" Jawab Brodin, terulang lagi kebiasaannya, menanyakan kapan menikah.

"Rabi ambek sopo? Pacar ae gak nduwe, lek rabi ambek sampean gelem aku." Jawab Dewi, yang menanggapinya dengan serius.

Brodin tersedak.

"Tuhan, ini anugerah atau bencana? Mau saya menikah hanya dengan satu orang saja, kenapa dalam sehari ada dua gadis minta dinikahin?" Batin Brodin.

"Lha, kenapa kamu sampai sekarang belum punya pacar?" Tanya Brodin.

"Bagaimana mau punya pacar, kalau setiap ada cowok yang datang, Endro bikin ulah. Yang mabuk, yang berantem. Cowok yang mau mendekati saya jadi takut dan tidak berani datang lagi."

"Memang, Endro gendeng."

"Sebetulnya, dari dulu saya menyukai sampean, tapi tidak pernah punya kesempatan bicara berdua. Bagaimana mau bicara, kalau setiap datang ke rumah ini pasti dalam keadaan mabuk." Lanjut Dewi.

Brodin diam tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Dulu, ketika masih kuliah, Brodin juga menyukai Dewi, namun karena persahabatan dengan kakaknya yang membuatnya menahan diri.

"Sekarang sudah punya pacar Mas?" Tanya Dewi. Brodin mengangguk.
"Cantik? Lebih cantik dari saya?" Tanya Dewi kecewa.
"Cantik kamu Dik."
"Tapi kenapa kamu memilih dia?
"Saya minder mau memilih kamu. Pertama, kamu adik sahabat saya, kedua, saya ini hanya seorang anak gelandangan saja sedangkan kamu, anak orang kaya. Sangat jauh berbeda, sehingga saya harus tahu diri."

Mereka diam.

Terdengar deru sepeda motor memasuki halaman, tidak lama kemudian muncul Endro dengan membawa makanan.

"Hei bedes, kapan teko?"

"Isuk maeng Ndro."

Endro diam sebentar, bergantian ia melihat ke arah adiknya lalu ke arah Brodin. Ketika melihat ada bekas air mata di wajah adiknya, ia bertanya.

"Ngomong opo koen ambek Dewi?"

"Ngomongno raimu. Kok gak tobat-tobat nakale."

"Sebenarnya ada apa diantara kalian berdua?" Endro merasa bertanggung-jawab atas keadaan adiknya.

Dewi lalu menceritakan bahwa sebenarnya ia menyukai Brodin, demikian juga sebaliknya. Tapi terhalang hubungan pertemanan dan tingkat ekonomi di antara mereka.

"Kenapa kamu tidak omong dari dulu?" Tanya Endro. Dewi diam seribu bahasa.

"Bagaimana denganmu Din?"

"Saya kesini mau curhat sama kamu, masalahnya satu bulan lagi saya mau menikah tapi Emak tidak setuju."

"Masalah Dewi saya juga baru tahu sekarang, jika saya tahu dari dulu mungkin akan berbeda ceritanya. Tapi sekarang sudah tidak mungkin lagi."

Mereka diam. Endro memandang adiknya dengan rasa prihatin.

"Ini yang dinamakan jodoh. Biarpun setiap hari ketemu seperti kalian, saling suka meskipun dipendam saja pada akhirnya Tuhan yang menentukan bahwa kalian tidak berjodoh."

"Sementara Brodin di Jakarta bertemu cewek, hanya beberapa kali saja, kalau Tuhan menghendaki, mereka akan menjadi suami-istri." Lanjut Endro layaknya orang tua.

"Nggih Mbah." Jawab Brodin.

 "Sudah, jangan bersedih, nanti Mas Endro carikan suami yang lebih ganteng daripada bedes ini." Kata Endro menghibur Dewi.

Brodin tersenyum, satu masalahnya selesai. Tinggal masalah Emaknya.

"Ndro, kamu mau saya kenalkan cewek cakep?"

"Mau, kebetulan sudah satu tahun saya belum punya pacar lagi."

"Siip, nanti malam kamu datang ke rumah, Emak lagi bikin syukuran. Pakai kemeja jangan pakai kaos." Kata Brodin.

"Yoo."

"Kalau begitu saya pamit dulu."

Malam harinya, Lestari dan orangtuanya datang ke rumah Brodin. Setelah berbasa-basi, akhirnya mereka menyatakan akan membina hubungan kekeluargaan dengan keluarga Brodin. Emak Brodin dengan antusias menyambut niatan itu. Brodin hanya garuk-garuk kepala.

"Asalamu alaikum." Terdengar suara Endro memberi salam.

"Wa alaikum salam, ayo masuk, sudah ditunggu dari tadi." Jawab Brodin.

"Ini saudara angkat saya, namanya Endro, masih lajang meskipun sudah ubanan." Kata Brodin sambil mengenalkan temannya.

Setelah itu Brodin menceritakan tentang maksud dan tujuannya pulang. Lestari dan orang tuanya kelihatan kecewa sementara Emak Brodin memberangut saja.

"Kalau berkenan, biar saudara saya ini menjadi pengganti saya."

Endro berbisik di telinga Brodin, "jancuk, aku dijadikan tumbal."

Brodin nyengir saja.

"Akan saya pertimbangkan dulu, kalau begitu kami mohon pamit." Kata Bapaknya Lestari.

Setelah keluarga Lestari pergi, giliran Emak Brodin yang marah.

"Bagaimana maumu? Emak sudah susah payah mencarikan jodoh untukmu, malah kamu tolak."

"Maaf Mak, bukan saya tidak mau, tapi saya sudah mengikat perjanjian lebih dulu dengan orang Jakarta. Makanya saya pulang untuk mohon doa restunya Emak, juga mau mengajak Emak pergi ke Jakarta."

"Saya sudah besar Mak, biarkan saya memilih sendiri jalan hidup saya. Yang saya butuhkan adalah doa dan restu Emak."

Emak Brodin diam membisu.

Brodin memberi isyarat kepada Endro untuk membantu membujuk Emaknya.

"Betul kata Brodin Mak, biarkan saja dia memilih calon istrinya sendiri, cinta tidak bisa dipaksakan apalagi dia sudah menyanggupi untuk menikah." Kata Endro.

"Baiklah, Emak memberimu doa restu tapi Emak tidak bisa ikut kamu ke Jakarta." Kata Emaknya.

Brodin tahu watak Emaknya sehingga ia tidak berani memaksakan kehendaknya. Semakin tua semakin keras tabiatnya, maklum hanya Brodin harapannya, tempat bergantung di hari tuanya.

Keesokan harinya Brodin kembali ke Jakarta.

Fatimah dan keluarganya sudah menunggunya. Dengan terbata-bata Brodin menceritakan hasil kepulangannya.

"Begitu Nyak, Be, saya tidak bisa memenuhi adat atau tata cara yang harus dilakukan sesuai budaya di tanah ini. Modal saya hanya niat yang tulus untuk menjaga Fatimah sampai Tuhan memisahkan kami, selebihnya terserah keluarga di sini." Kata Brodin.

"Kalau memang adat yang harus memisahkan cinta kami, saya rela. Besok saya akan kembali ke Mampang lagi." Lanjut Brodin.

Wajah Fatimah menjadi pucat pasi mendengar kata-kata Brodin, ditubruknya kedua orang tuanya sambil menangis sedih.

"Bagaimana Be .. Kalau Fatimah tidak boleh menikah dengan Mas Brodin, mendingan Fatimah bunuh diri aje." Ancam Fatimah.

H. Badrun dan istrinya kebingungan menghadapi ancaman anak semata wayangnya.

"Baiklah, lu sudah saya anggap seperti anak laki-laki gue sendiri. Kami akan menikahkan kalian, masalah adat biar kami cari jalan keluarnye." Kata H. Badrun.

Fatimah berlari memeluk Brodin, dan bergelayut dalam pelukannya.

"Kita boleh menikah Mas." Katanya girang.

"Sudah sono, kalian keluar dulu. Nyak dan Babe mau berunding. Awas jangan berbuat macam-macam sebelum kalian menikah!"

"Baik Be."

Mereka berdua pergi ke rumah belakang, duduk di bale-bale bambu. Fatimah terlihat bahagia, matanya berbinar-binar cerah sementara tangannya tidak mau lepas memegang tangan Brodin. Sementara Brodin terduduk lelah, bertubi-tubi masalah cinta yang harus dihadapinya.

Setelah perasaan itu reda, Fatimah teringat sesuatu.

"Kemarin teman satu kontrakan di Mampang, kemari mencari Mas Brodin." Katanya.

"Ada perlu apa?"

"Penting, katanya."

"Besok saja saya temui dia, hari ini saya lelah, mau istirahat dulu di kamar. Kamu mau menemani?" Tanya Brodin menggoda.

"Ih, maunya, bisa di damprat Nyak nanti kalau ketahuan."

"Jangan sampai ketahuan."

"Abang lupa kalau kita sudah berjanji tidak akan macam-macam?"

"Habis kamu bikin gemes." Kata Brodin sambil mencubit pipi Fatimah.
Fatimah mau membalas, tapi keburu terdengar teriakan Nyaknya.

"Fatimah .. Fatimah .. Ayo masuk."

Keesokan harinya Brodin menemui Sigit.

"Ada apa Mas? Katanya kemarin mencari saya."

Sigit menarik nafas panjang.

"Salah saya ini, semua ini adalah kesalahan saya." Kata Sigit lirih.

"Kenapa Mas?"

"Saya mendapat telpon dari kampung jika Anggraeni jatuh sakit."

"Sakit apa Mas?"

"Sakit mala rindu tropi kangen."

"Ah, becanda saja."

"Beneran, kata Bapak saat dia menggigau, dia menyebut-nyebut namamu. Mau ketemu kamu."

Brodin memukul jidatnya.

"Haddeh, ada lagi masalah."

"Dia adikku satu-satunya yang paling saya sayangi Din, bisakah kamu menolong saya? Temui dia, turuti apa kemauannya."

"Kalau menemui dia saja saya bisa, tapi jika harus menuruti apa kemauannya, maaf Mas, saya tidak bisa."

"Saya sudah mengikat janji dengan Fatimah, bagaimana bisa saya harus mengikat janji lagi dengan orang lain?"

"Kamu datang saja ke Parakan, temui dia, selebihnya biar kami yang mencari jalan keluarnya."

"Baik Mas, kapan kita berangkat?"

"Kebetulan besok hari Jum'at, kita berangkat sepulang kerja saja."

Keesokan harinya, sesuai dengan rencana, mereka naik bus berangkat menuju ke Parakan, Temanggung.

Pagi-pagi sekali mereka sampai.

Setelah istrirahat dan sarapan, mereka menemui Anggraeni yang terbaring sakit di kamarnya. Badannya kurus, wajahnya pucat dan matanya terpejam.

Sigit membangunkannya dengan lembut.

"Dik .. Dik .. Ini Mas Sigit, Brodin sudah ada di sini, mau menemui kamu." Bisik Sigit.

Anggraeni membuka matanya, mencari-cari orang yang ditunggunya. Ketika melihat Brodin disampingnya, senyumnya mekar, wajahnya menjadi segar dan matanya bercahaya seolah menemukan daya kekuatan yang membuatnya bangkit dari sakitnya.

Dicobanya bangun lalu berusaha duduk, Sigit membantunya dengan penuh kasih sayang.

"Kapan datang Mas?"

"Tadi pagi Dik, sebenarnya sakit apa kamu?" Tanya Brodin. Anggraeni diam.

"Kenapa tidak pernah ke Parakan lagi?" Tanya Anggraeni.

"Banyak kesibukan dan pekerjaan yang harus diselesaikan di Jakarta."

"Kenapa tidak telpon?"

"Nomor telponnya tidak tahu, tidak dikasih sama Mas Sigit."

"Tolong tinggalkan kami berdua saja." Pinta Anggraeni kepada Sigit.

Sigit segera meninggalkan mereka berdua.

"Sejak pertemuan kita dulu, saya tidak bisa melupakan wajah Mas Brodin. Sebagai gadis yang dididik dengan adat dan budaya ketimuran, saya malu mau mengatakannya. Saya menunggumu, tapi begitu lama saya menunggu, tidak ada respon sedikitpun darimu."

"Saya menyukaimu Mas."

Lidah Brodin terasa kelu. Dipegangnya tangan Anggraeni lalu dibaringkan badannya di dada Brodin.

"Andai saja kita segera mengetahui isi hati kita dengan cepat, mungkin sudah terajut benang kasih di antara kita. Tapi sekarang saya sudah punya kekasih di Jakarta, sebulan lagi kami akan menikah." Kata Brodin.

Anggraeni menangis tersedu-sedu.

"Mungkin kita tidak berjodoh, banyak lelaki di luar sana, yang melebihi saya kelak akan  menjadi jodohmu." Lanjut Brodin.

"Andai saja kamu mau berbagi, meskipun berat, meskipun banyak halangan dan rintangan akan kita jalani."

"Saya mau Mas." Jawab Anggraeni.

Brodin tersentak mendengar jawaban itu.

"Bagaimana dengan keluarga di sini? Apakah mereka mau menerimanya?"

"Saya yang akan menjalani." Jawab Anggraeni tegas.

"Tapi tolong bicarakan baik-baik dengan Bapak dan Ibu serta Mas Sigit. Dan, bicarakan setelah saya kembali ke Jakarta, untuk menjaga perasaan mereka."

"Ya Mas."

"Ayo sekarang bangun, jangan malas-malasan terus. Mari kita jalan-jalan keluar." Ajak Brodin sambil mengangkat tubuh Anggraeni lalu membantunya berdiri.

Keluar dari kamar, orang tua Sigit menyambutnya dengan gembira. Bagi mereka, kebahagiaan anaknya lebih utama dibandingkan dengan yang lainnya.

Melihat anaknya sembuh, orangtua Sigit memeluk Brodin. Sigit ikut-ikutan ingin memeluknya juga, tapi Brodin menolaknya.

"Hii .." Kata Brodin jijik.
"Bedes kowe." Maki Sigit.

Hari itu dimanfaatkan Brodin dan Anggraeni untuk menjalin kasih, merajut benang-benang asmara dan membangun mimpi indah.

Meskipun Anggraeni tahu, Sigit tahu bahwa ada cinta lain di hati Brodin.

Cinta memang buta.


0 komentar:

Posting Komentar