Rahasia Aksara Jawa
Aksara Jawa - Baru saja Brodin memarkir sepeda motornya di depan rumah Mbah Sunari, sudah disambut dengan sebuah pertanyaan.
"Laopo Din?" Tanya Mbah Sunari.
"Pijat Mbah."
"Kamu itu bolak-balik kemari untuk pijat, sebenarnya kegiatan apa saja yang sudah kamu lakukan?" Tanya Mbah Sunari.
"Sekarang saya lagi rajin olahraga Mbah, makanya setiap bulan sekali saya sempatkan kemari, noto urat. Sampean sepertinya tidak suka kalau saya kemari, sudah saya mau pulang saja." Jawab Brodin kesal.
"Bukan begitu maksud saya, umumnya, orang pijat itu, tiga bulan sekali, sedangkan kamu sebulan sekali bahkan dua minggu sekali pijat. Pekerjaanmu di kantor bukan kerja kasar, makanya Mbah heran, apa saja yang kamu lakukan."
Brodin menghampiri Mbah Sunari lalu duduk di sebelahnya.
"Saya kemari karena capek, pegel dan lelah, Mbah. Terus saya juga kangen sama Mbah. Saya di sini tidak punya keluarga jadi Mbah sudah saya anggap seperti keluarga sendiri." Kata Brodin dengan mimik muka yang serius.
"Benar kamu menganggap saya keluarga?" Tanya Mbah Sunari. Brodin mengangguk.
"Kalau begitu belikan dulu Mbah rokok, kebetulan rokokku habis." Kata Mbah Sunari.
"Telek Mbah iki, kalau dari tadi ngomong begitu, saya belikan." Omel Brodin sambil berjalan menuju warung.
"Hehehe." Mbah Sunari tertawa terkekeh.
"Ini Mbah rokoknya." Kata Brodin sepulang dari warung. Sambil menyerahkan rokok pesanan Mbah Sunari Brodin berkata, "enaknya, merokok sehabis memijat saya Mbah."
"Sabar, satu batang dulu." Kata Mbah Sunari sementara Brodin merengut saja.
"Terus olahraga kamu apa?"
"Biasa Mbah, latihan 'gelut'."
"Oh, jadi kamu suka berkelahi?
"Untuk olahraga saja Mbah, sekalian untuk membela diri sendiri atau syukur jika bisa membantu orang lain."
"Bagus itu, kamu tertarik menjadi seorang Warok?"
"Apa itu 'warok'?"
"Warok itu nama atau julukan bagi orang yang menguasai ilmu kanuragan khususnya orang-orang dari kota Ponorogo. Tapi, lakunya cukup berat untuk menjadi seorang warok, mereka tidak hanya mengolah jasmaninya saja, tapi juga rohaninya. Mereka menguasai ilmu lahir dan batin. Kalau kamu ketemu atau berkelahi dengan seorang warok, paling-paling, dipukul pakai 'kolor' nya saja, sudah pingsan kamu."
"Mosok Mbah? Sampean kok tahu?"
"Mbah dulu juga salah satu warok yang disegani di Ponorogo, cuma Mbah lebih suka jalan damai. Sebenarnya hanya dengan pegang tangan atau kakimu saja, saat memijat, Mbah dapat merasakan seberapa besar tenagamu. Masih kalah sama warok"
"Kalau seorang warok?"
"Disamping tenaga lahir, mereka memiliki tenaga batin atau tenaga dalam. Kalau digabungkan menjadi satu, dampaknya jauh lebih besar dibandingkan hanya menggunakan tenaga lahir saja."
"Kalau saya Mbah?"
"Kamu tenaga lahirmu cukup lumayan, tapi kamu belum memiliki tenaga batin atau tenaga dalam. Makanya kamu jadi cepat lelah."
"Terus, saya ini mau dipijat atau nggak, Mbah?"
"Sudah sana, ganti bajumu!"
Brodin segera masuk ke tempat praktek Mbah Sunari, melepas celana dan bajunya lalu mengenakan celana pendek yang dibawanya. Tidak lama kemudian Mbah Sunari masuk ke ruang prakteknya.
Sambil memijat Brodin, Mbah Sunari menceritakan kisah para warok Ponorogo. Para pendekar yang berperang melawan penjajah Belanda. Namun karena kelicikan Belanda, para warok itu di adu domba sehingga mereka berkelahi dengan saudaranya sendiri.
Ada Warok Suro Menggolo, Warok Suro Gentho, Warok Singa Lodra dan banyak lagi warok-warok lainnya.
"Kalau saya mau memiliki kekuatan batin, apa yang harus saya lakukan Mbah?"
"Jaman dulu, untuk menjadi seorang Warok ada padepokannya, dimana mereka harus melakukan tapa brata, mengendalikan segala nafsu termasuk wanita. Bagi yang sudah lulus berhak menyandang gelar Warok."
"Kalau kamu mau menjalankan laku batin, kamu tahu huruf atau Aksara Jawa?"
"Tahu Mbah, ho no co ro ko?"
"Ya, coba kamu baca secara terbalik, lalu kamu puasa mutih selama tujuh hari."
"Apa kegunaannya Mbah?"
"Macam-macam, salah satunya kamu tidak akan disengat tawon meskipun kamu berada di sarang tawon."
"Kalau cuma biar tidak disengat tawon saja mendingan pakai sarung tangan atau penutup badan lainnya. Gak usah capek-capek puasa."
"Bocah edan, itu hanya salah satunya saja. Kalau kamu mau menjalankannya, kamu akan tahu sendiri apa manfaatnya."
"Malas Mbah."
"Memang anak muda jaman sekarang, kalau dikasih tahu orangtua, mbanggel. Apalagi kamu." Kata Mbah Sunari kesal.
Pulang dari pijat, Brodin makan soto Lamongan atau lebih dikenal dengan sebutan soto "dok" di Kebon Rojo.
Kebon Rojo, Jombang, pada sore sampai malam hari, menjadi pusat keramaian. Warung-warung tenda yang menjajakan berbagai macam makanan berjejer rapi. Salah satunya yang terkenal adalah soto 'dok' Lamongan. Rasanya enak, penjualnya ramah dan yang bikin penasaran adalah suara 'dok' ketika penjualnya membanting botol kecapnya.
Habis makan, Brodin pulang ke mess-nya yang berjarak beberapa langkah saja dari Kebon Rojo.
Penghuni mess yang lain sedang pergi, biasanya jam 10 malam mereka kembali.
Brodin duduk di beranda mess, menyalakan rokok lalu merenung.
Sejak kejadian waktu masih SMA dimana ia hampir mati dikeroyok di tengah-tengah pemakaman Gang 7 Malang, ia rajin berlatih bela diri. Berbagai macam aliran bela diri telah ia pelajari, mulai dari pencak silat, karate, kick boxing dan yang terakhir adalah tinju.
Setelah menguasai beberapa aliran bela diri tersebut, ia merasa masih ada yang kurang. Meskipun ia pernah membekali dirinya dengan ilmu kebal meskipun hanya kw atau isian, namun ia merasa belum tenang.
"Terus apa yang bisa membuatku tenang? Sholat lima waktu? Sehabis sholat saya masih merasa risau, takut, dan masih sering melakukan kesalahan. Mungkin sholatku belum kusyu' atau saya jarang sholat." Batin Brodin.
Pengalaman merasakan kerasnya kehidupan membuatnya punya cita-cita untuk menjadi seseorang yang memiliki kesaktian dan kelebihan. Ditambah lagi, cerita-cerita tentang tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian dalam buku Kho ping hoo, SH. Mintardja dan buku silat yang lain, membuatnya terobsesi menjadi seorang pendekar.
"Tapi itu dulu, di jaman sekarang, yang dibutuhkan adalah kepandaian, keahlian dan ketrampilan. Sehingga bisa mendapatkan pekerjaan yang enak." Kata suara yang lain.
"Tapi tidak ada salahnya jika punya kepandaian, keahlian serta ketrampilan juga memiliki kesaktian, akan semakin lengkap." Kata suara yang membenarkan.
Terngiang-ngiang kembali kata-kata Mbah Sunari tentang aksara atau huruf Jawa yang dibalik. Pengetahuannya tentang huruf Jawa lumayan baik, pertama kali diterimanya saat sekolah dasar, kemudian dari bacaan majalah berbahasa Jawa seperti Panyebar Semangat dan Joyo Boyo.
Konon, Aksara Jawa berkaitan erat dengan legenda tanah Jawa. Aji Saka seorang pertapa dari India yang menyebarkan agama Hindu ke tanah Jawa, beliau yang menyebarkan dan mengembangkan sehingga menjadi pusaka serta kebanggaan masyarakat Jawa. Aji Saka mempunyai dua orang abdi yaitu Dora dan Sembada. Dari kedua abdi tersebut asal-muasal aksara Jawa.
Namun pengertian atau makna sebenarnya, jarang orang yang tahu. Untuk memahaminya, Brodin mengejanya satu per satu.
Konon, Aksara Jawa berkaitan erat dengan legenda tanah Jawa. Aji Saka seorang pertapa dari India yang menyebarkan agama Hindu ke tanah Jawa, beliau yang menyebarkan dan mengembangkan sehingga menjadi pusaka serta kebanggaan masyarakat Jawa. Aji Saka mempunyai dua orang abdi yaitu Dora dan Sembada. Dari kedua abdi tersebut asal-muasal aksara Jawa.
Baca Juga : Kisah Aji Saka
Namun pengertian atau makna sebenarnya, jarang orang yang tahu. Untuk memahaminya, Brodin mengejanya satu per satu.
Ho no co ro ko
Do to so wo lo
Po do jo yo nyo
Mo go bo to ngo
Maknanya adalah ada dua utusan, keduanya terlibat perselisihan sehingga terjadi perkelahian, keduanya sama-sama sakti sehingga keduanya mati 'sampyuh'.
"Kenapa musti dibalik? Apakah dengan begitu, maknanya akan berbeda?"
Lalu diejanya kembali urutan aksara Jawa secara terbalik.
Ngo to bo go mo
Nyo yo jo do po
Lo wo so to do
Ko ro co no ho
"Sepertinya berbeda maknanya, lebih baik saya 'lakoni' saja daripada hanya menduga-duga saja. Biarlah, saya akan menerima segala resikonya nanti." Tekad Brodin.
Brodin memilih hari yang tepat untuk memulai puasanya, hari dimana kesibukan kerjanya tidak terlalu padat. Cukup berat puasa yang harus dilakukannya, puasa 'mutih'. Puasa yang sahur dan berbukanya hanya segelas air putih dan segumpal nasi putih saja.
Puasa yang hanya dikenal di kalangan masyarakat Jawa yang menganut faham abangan atau Islam tradisional, dimana kebiasaan lama orang Jawa digabungkan dengan ajaran Islam.
Hari Kamis, Brodin memulai puasanya.
Hari demi hari terasa panjang, keinginan dan nafsunya memberontak mengajak dan membujuknya dengan segala dalih untuk membatalkan puasanya. Karena keinginanya untuk mengetahui rahasia yang terkandung dalam huruf Jawa sangat besar, Brodin mampu bertahan.
Sampai akhirnya pada hari 'telasan' atau hari terakhir. Selesai berbuka puasa, Brodin tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi.
Seorang wanita sangat cantik, sangat anggun dan mempesona menyambut kedatangannya. Brodin terpana, seumur hidupnya, baru kali ini ia menjumpai wanita secantik ini.
"Selamat datang NakMas, kamu telah menyelesaikan 'laku' mu, sekarang terimalah anugerah yang akan ku berikan kepadamu."
"Anugerah apakah itu?"
Wanita itu mengibaskan tangannya, tiba-tiba dihadapan Brodin terpampang sebuah layar film, dalam film itu terlihat dirinya bisa berjalan di atas air, mampu melompat ke pucuk pohon kelapa yang tinggi, mempunyai kekuatan yang besar dan banyak kesaktian lainnya.
Brodin tercenung, semua itu adalah kesaktian yang diinginkan selama ini, namun ada dorongan dari dalam dirinya untuk menolak itu semua.
"Semua itu semu." Kata suara yang keluar dari dalam dadanya.
"Bagaimana Nakmas?" Tanya wanita itu.
"Maafkan saya, bukan itu yang saya cari dalam hidup saya." Jawab Brodin.
"Apa? Kamu menolaknya?" Suara wanita itu berubah garang.
"Kamu sudah susah payah menjalankan laku, sudah memberi mahar pada ilmuku, tapi kenapa sekarang kamu menolaknya?" Kata wanita itu dengan suara menggelegar. Sosok wanita itu berubah menjadi mahluk raksasa yang teramat sangat menyeramkan. Wajahnya seolah memenuhi langit, sementara badannya memenuhi bumi dan langit.
Entah mengapa, Brodin tidak gentar melihat perubahan itu.
"Maafkan saya, sekali lagi maafkan saya, bukan ini yang saya cari."
"Kurang ajar, kamu telah menghinaku dengan menolak pemberianku." Kata raksasa itu sambil menginjak Brodin dengan kakinya yang besar.
Brodin menghindar, tapi semakin lama ruang geraknya tertutup oleh tubuh raksasa itu. Hingga akhirnya ia terjepit di antara jari-jari kaki raksasa itu. Terhimpit tidak berdaya.
"Kalau kamu menolakku, maka akan aku hancurkan kamu." Sambil mengangkat kakinya untuk meremukkan tubuh Brodin.
Dalam keadaan terdesak dan terhimpit, Brodin pasrah. Tiba-tiba dari dalam tubuhnya keluar sinar putih sebesar uang logam, sinar itu terbang, melesat dengan kecepatan tinggi menghantam raksasa itu.
Terdengar benturan kekuatan yang sangat hebat,
"Blarrr .."
Raksasa itu hancur berkeping-keping, dan sinar itu kembali ke tubuh Brodin.
Tergagap Brodin bangun dari tidurnya, keringatnya bercucuran, nafasnya terengah-engah. Diminumnya segelas air putih, setelah merasa tenang, ia mulai meraba-raba apa makna mimpinya.
"Siapa wanita itu? Dan apa sebenarnya sinar putih yang melindungiku?"
"Sepertinya ada dua pilihan buah dari amalan ini, memilih wanita itu akan memiliki kesaktian macam-macam tapi akan membawa kepada sifat-sifat angkara, sedangkan memilih sinar itu tidak memiliki kesaktian atau kelebihan apapun namun akan membawa pada kebaikan."
Seperti makna dari aksara atau huruf Jawa itu sendiri,
Hono Caroko = ada utusan
Doto Sawolo = saling berseteru
Podho Joyonyo = sama-sama sakti
Mogo Bothongo=keduanya mati 'sampyuh'
"Sepertinya ada dua pilihan buah dari amalan ini, memilih wanita itu akan memiliki kesaktian macam-macam tapi akan membawa kepada sifat-sifat angkara, sedangkan memilih sinar itu tidak memiliki kesaktian atau kelebihan apapun namun akan membawa pada kebaikan."
Seperti makna dari aksara atau huruf Jawa itu sendiri,
Hono Caroko = ada utusan
Doto Sawolo = saling berseteru
Podho Joyonyo = sama-sama sakti
Mogo Bothongo=keduanya mati 'sampyuh'
Kalau dibaca secara urut, maknaya kedua utusan itu akan berakhir pada kematian atau 'bothongo', sedangkan jika dibalik akan berakhir pada huruf 'hono' yang artinya ada atau 'hurip ono' atau hidup.
"Semoga penafsiranku tentang aksara Jawa dibalik ini benar." Batin Brodin.
"Semoga penafsiranku tentang aksara Jawa dibalik ini benar." Batin Brodin.
"Benar kata Cak Toha, menjalankan laku itu harus ada pembimbingnya, tidak boleh sembarangan seperti ini."
jadi tambah pengetahuan http://bulprin1.blogspot.co.id/
BalasHapusPeh klakoan ha ha ha ha ha ha ha ha........, Golek sangune Urip sing Mulyo Ndunyo Akherat ae kang Brodin 😊😀😁
BalasHapusWeleh... weleh... kanv Brodin asale saka Nukus , Ngalam...
BalasHapusTop xech...
Awame dewe ancen mkhdu nguri2 basa Jawa.. ben kra sirna saka bawana iki...
Hanya sebuah aksara...ternyata mengandung sejuta makna.
BalasHapus