Home » » Topeng Panji Kelana

Topeng Panji Kelana

"Din, nanti malam kita makan di Ayam Goreng Mbok Berek, saya yang traktir." Ajak Sigit saat mereka bertemu di rumah kontrakan.

"Wah makan besar, tumben nraktir? Lagi banyak duit nih?" Jawab Brodin.

"Nggak juga, kepingin nraktir kamu saja."

"Mas Sigit memang baik dan pengertian, tahu saja kalau ada orang lagi cekak."

"Emang kamu lagi cekak?"

Brodin mengangguk dengan keyakinan penuh.

"Ini buat pegangan kamu." Kata Sigit sambil menyerahkan uang 100 ribu.
Brodin terpana tapi tangannya menerima uang itu.



"Sehat mas?"

"Kenapa kamu tanya begitu?"

"Nggak apa-apa, kok tumben baik."

"Mau nggak? Kalau nggak mau nggak apa-apa."

"Terima kasih kakak ipar."

"Siapa yang mau jadi kakak iparmu, ora sudi aku." Jawab Sigit sewot.
Brodin nyengir saja.

Malam harinya, Brodin makan sepuasnya dengan perasaan tenang. Tidak perlu khawatir, tidak perlu menghitung uang di kantongnya dengan makanan yang harus dibayar, gratis.

Apalagi pada akhir bulan seperti ini, keuangannya sudah menipis sampai-sampai jika makan di warung  harus menunggu pengunjung warung sepi lalu bilang, "Kang utang dulu."

Mendapatkan kesempatan makan gratis begini membuat nafsu makannya meningkat.

Sigit hanya tersenyum getir melihat jumlah makanan yang dipesan Brodin.
"Anak ini sedang dalam masa pertumbuhan atau memang makannya banyak? Kalau tiap hari begini, bisa tekor gue." Batin Sigit.

Karena Sigit memang berniat mentraktir maka dibiarkan saja Brodin memesan makanan sesuai keinginannya.

"Din, waktu saya ke warteg tadi siang, orang-orang bercerita jika kemarin malam ada kejadian aneh di perempatan jalan."

"Aneh bagaimana Mas?" Jawab Brodin sambil mencomot ayam di piring Sigit.

"Orang-orang yang mencarimu dulu, kemarin datang lagi, tapi saat di pojok jalan di bawah pohon bambu bertemu seseorang yang mengenakan topeng merah. Mereka berkelahi dan orang-orang itu kalah terus melarikan diri sementara orang bertopeng itu menghilang tanpa jejak. Orang-orang bertanya siapa sebenarnya orang bertopeng itu? Sampai sekarang masih menjadi misteri." Kata Sigit.

"Dugaan mereka, kamu yang menjadi orang bertopeng itu tetapi mereka meragukan kemampuanmu karena melihat penampilanmu yang lemah lembut." Lanjut Sigit.

"Semalam saya nonton film di Kalibata Mall. Saya tidak tahu jika ada kejadian seperti itu. Kalau memang benar, saya akan berterima kasih pada orang bertopeng itu karena sudah menolong saya." Jawab Brodin.

Sigit menatapnya dengan tajam, sementara Brodin menunduk menghindari tatapan itu.
"Kamu bohong, selama ini  saya menganggapmu seperti saudara sendiri, tapi kamu masih menyembunyikan sesuatu dariku."

Brodin bergegas menyelesaikan makannya lalu menyalakan rokok. Sejenak matanya memandang ke arah langit-langit ruangan itu lalu menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan pelan.

"Baik Mas, tapi ini rahasia di antara kita berdua saja tidak boleh ada orang lain yang tahu, bagaimana?"

Sigit mengangguk, kemudian Brodin bercerita tentang kejadian semalam.

"Tepat seperti dugaanku. Tapi kamu benar-benar sudah gila jika menghadapi mereka sendirian."

"Harus bagaimana lagi Mas? Saya fikir ini adalah jalan terbaik bagi kita semua. Bagi saya, Mas Sigit dan teman-teman yang terkait dengan masalah ini."

Sigit manggut-manggut.

"Mengapa kamu mengenakan topeng?" Tanya Sigit.

"Untuk mengurangi resiko di kemudian hari, lebih baik mereka tidak mengenali wajah saya."

"Pertimbangan yang bagus, ternyata kamu bisa diandalkan dalam menghadapi masalah. Saya fikir bisamu hanya mabuk-mabukan saja."

Brodin tersenyum kecut.
"Jadi sekarang saya boleh pacaran sama Anggraeni?"
"Kalau adik saya mau." Kata Sigit sambil beranjak pergi, membayar makanan mereka.

Hari berganti hari, cerita tentang orang bertopeng semakin berkembang menjadi pembicaraan hangat di warteg sepanjang Mampang.

Malam Sabtu, Dani mengunjunginya dengan membawa kue terang bulan dan martabak Bangka.
"Tumben lu bawa makanan segala." Kata Brodin.

"Sebagai ucapan terima kasih, karena lu telah membantu gue menyelesaikan masalah dengan Hasan." Jawab Dani.

"Hasan dan teman-temannya sekarang baik sama gue, dia titip salam buat lu." Imbuh Dani.

"Syukur kalau begitu. Sebetulnya ada masalah apa antara kamu dengan Hasan?" Tanya Brodin.

"Berawal dari saling mengolok berubah menjadi saling rebut penumpang dan jadi begini." Jawab Dani.

"Oh iya Brod, Cak Seger titip salam buat kamu. Dia dengar tentang kejadian perkelahian di terminal, dia mau ngomong sama kamu. Kalau ada waktu coba kamu mampir." Tambah Dani.

"Baik, kapan-kapan tak mampir."

"Ada apa lagi ini? Tumben Cak Seger mau bicara sama saya, biasanya negur saja dia nggak mau." Batin Brodin.

Seger atau biasa di panggil "Cak Seger" adalah salah satu senior atau sesepuh di Blok M dari kelompok "Arek" atau perantauan dari Jawa Timur.

Di Jakarta sering terjadi pertikaian antar kelompok dengan sumber permasalahan perebutan wilayah, perebutan kekuasaan dan perebutan lahan rejeki. Sehingga masing-masing kelompok akan memperkuat diri dengan melatih atau merekrut orang-orang baru yang berani.

Jakarta adalah kota Metropolitan, miniatur Indonesia dimana semua suku ada di sana. Orang yang belum beruntung akan berkata "Kejamnya Ibu tiri tidak sekejam Ibukota." Bagi mereka yang berkecimpung di dunia hitam akan berkata "jangankan yang halal, yang haram pun susah di Jakarta." Kota yang keras.

Brodin merasa beruntung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Kantor yang nyaman, suasana kerja kondusif dan gaji lumayan besar.

Sementara temannya Dani, harus banting tulang mencari nafkah di jalanan, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk mengejar setoran dari satu terminal ke terminal lainnya. lebihnya buat makan dan bayar kontrakan. Belum lagi banyaknya pungutan liar dan resiko di jalanan sangat besar.

Malam Minggu, Brodin mengunjungi Seger di Blok M. Setelah menanyakan kabar masing-masing, Seger memulai pembicaraan.

"Saya dengar kabar kalau kamu habis berkelahi dengan Hasan dan teman-temannya. Apakah itu benar?"

"Benar Cak."
"Kamu sendirian menghadapi mereka?"
"Sendirian Cak."
"Kenapa tidak bicara sama saya kalau kamu sedang ada masalah?"
"Gak enak Cak, nanti urusannya bertambah panjang."
Seger diam sebentar.
"Saya dengar dari cerita Hasan, katanya  kamu ini mempunyai laskar atau pasukan Gondoruwo yang membantumu. Katanya, kamu juga bisa menghilang dan pandai berkelahi. Dia juga bilang apabila kamu mempunyai darah keturunan Gondoruwo jika tidak mana mungkin mempunyai pasukan sebanyak yang dilihatnya. "

"Cangkem e Hasan ae iku Cak. Ganteng-ganteng begini masak dibilang anak Gondoruwo." Jawab Brodin sewot. Sementara Seger hanya tersenyum.

"Ceritanya begitu Din, saya tidak melebih-lebihkan."

"Sampean percaya?"
Seger mengangguk.
"Kalau percaya, berarti sampean sing gendeng." Kata Brodin.
"Bedes koen.." Maki Seger.
Mereka tertawa.

"Begini Din, saya butuh bantuanmu. Akhir-akhir ini kelompok kita ini semakin lemah sehingga pengaruh kita juga semakin berkurang."

"Terus?"

"Sebaiknya kamu bergabung dengan kelompok kita lalu mengembangkan kekuasaan dan wilayah kita, khususnya di Blok M ini."

"Saya ini sudah mempunyai pekerjaan tetap Cak, kalau saya sering datang ke terminal ini hanya karena saya membantu Dani saja bukan untuk menjadi bagian dari kelompok ini."

Seger diam saja.

"Tapi kalau kita butuh bantuan, kamu mau membantu?'
"Asal tidak melanggar hukum, saya mau Cak."

"Baiklah, lain kali kita bicara lagi."

Brodin meninggalkan tempat itu dengan banyak pertanyaan di kepalanya.

"Jika aku masuk dalam kelompok ini  maka aku akan masuk ke dalam lingkaran setan, tidak tahu dimana ujung-pangkalnya. Aku akan melakukan kekerasan demi kekerasan hanya untuk kepentingan kelompok, tidak tahu duduk permasalahannya, tidak tahu benar dan salah."

Pulang dari Blok M, Brodin duduk di ruang tamu. Dibukanya lemari plastiknya lalu dikeluarkan topeng yang pernah dikenakannya saat menghadapi orang-orang suruhan Hasan.

Ditimang-timang, dibersihkan lalu dipandanginya dengan teliti. Topeng yang dibelinya saat berada di Magelang, topeng tokoh Panji yang menjadi salah satu aktor pada pementasan kuda lumping atau 'jatilan'.

Dalam legenda, diceritakan bahwa tokoh Panji sebenarnya adalah seorang Pangeran atau putra mahkota kerajaan Kediri yang menyamar menjadi seorang ksatria pembela keadilan. Panji bertualang dari satu daerah ke daerah lainnya, membantu yang lemah dan menindas angkara murka.

"Dengan topeng ini saya akan membantu orang-orang tertindas dan melawan angkara murka." Batin Brodin.

"Tapi apakah saya mampu melakukannya?  Sedangkan untuk menghadapi teman-teman Hasan saja saya harus minta bantuan Mbah Gondo dan kelompoknya."

"Mungkin Mbah Gondo bisa membantu meningkatkan kemampuanku, mengingat beliau sudah lama menjadi Gondoruwo, pengalamannya banyak dan kesaktiannya tinggi."

Suatu malam, Brodin mengutarakan maksudnya kepada Mbah Gondo.

"Baik Ngger, sudah seharusnya kamu mulai belajar ilmu 'jaya kawijayan guna kasentikan'. Kebetulan tahun ajaran baru akan dibuka pada bulan Juni."

"Memang ada sekolahnya Mbah?"
"Ada tapi khusus para Gondoruwo saja, mungkin saya bisa kasih referensi untuk kamu."

"Terima kasih Mbah, saya ambil kelas eksekutif saja Mbah, soalnya libur kantor hanya hari Sabtu dan Minggu saja."

"Itu bisa diatur."

"Baik Mbah, saya daftar. Tapi bagaimana caranya dan biayanya berapa? Terus pakai apa?"

"Biar Mbah yang ngatur, kebetulan saya adalah salah satu pendiri sekolah itu sehingga saya dapat memberi saran dan masukan agar sekolah memberikan beasiswa kepadamu."

"Terima kasih Mbah."

"Sekolahnya ada dimana Mbah?"
"Magelang."
"Aduh jauhnya, bagaimana caranya saya bisa dengan cepat sampai ke sana? Kalau naik bus, capek di jalan."
Mbah Gondo lalu membisikkan sesuatu ke telinga Brodin, seketika wajah Brodin berubah menjadi cerah.

"Baik Mbah, terima kasih." Kata Brodin sambil mencium tangan Mbah Gondo.

0 komentar:

Posting Komentar