Home » » Senandung Doa Sang Pengembara

Senandung Doa Sang Pengembara

Senandung Doa Sang Pengembara - Adalah satu cerita pendek yang menceritakan pergulatan batin seorang pengembara yang tengah berjuang merubah nasibnya di perantauan. Ternyata nasib baik belum berpihak padanya, dalam posisi sedang terjepit, berbagai tekanan batin lainnya datang menghampirinya.

Tengah malam, sang pengembara merenungi nasibnya dan akhirnya ia mendapatkan ketenangan batin dengan menyenandungkan doa, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Sang Maha Pengatur.

Senandung Doa Sang Pengembara

Mari kita ikuti cerita tentang bagaimana sang pengembara berjuang melawan kegelisahan, kecemasan dan tuntutan sang istri hingga mengalun senandung doa dalam batinnya.

Silahkan menyimak cerita pendek ini.

Malam itu, hujan deras mengguyur suatu daerah di pinggiran kota Balikpapan.

Di salah satu kamar kost yang sempit berukuran 3x2m, ia terbaring menatap langit-langit kamar. Suara gemercik air hujan menimpa atap rumah dan riuh suara katak bersautan memenuhi ruang telinganya. Dinginnya udara malam menusuk  sampai tembus ke tulang, ditambah lagi suasana hatinya yang gundah gulana, membuatnya terjaga dan susah memejamkan matanya.

Ia meringkuk di pojok ranjang.

Bayangan wajah istri dan anak-anaknya di kampung yang terpisah ribuan kilometer jauhnya, menari-nari di dalam lamunannya. Dicobanya untuk mengalihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang menarik hatinya, namun bayangan mereka kembali muncul, lagi dan lagi seolah lekat dalam angan dan fikirannya.

Omelan dan tuntutan istrinya, jerit dan tangis anak-anaknya minta makan serasa pisau yang merobek, mengiris serta mencacah hatinya menjadi potongan-potongan kecil.

Sudah sebulan lamanya ia menganggur tanpa tabungan yang memadai, hari itu tabungannya habis sama sekali. Sementara kebutuhan rumah tangganya tidak bisa ditunda lagi. Inilah alasan yang memaksanya pergi meninggalkan rumah untuk mencari nafkah.

Di kampung halamannya sendiri, semua sudah berubah dan ia harus memulai dari awal lagi. Teman-teman dan relasinya sudah sibuk dengan urusannya masing-masing, untuk urusan pertemanan mereka masih peduli tapi untuk urusan perut, mereka tidak bisa membantu. Apalagi krisis ekonomi global sudah mempengaruhi semua sendi perekonomian nasional.

Usaha di kampung halaman sendiri tidak menuai hasil maka langkahnya menjadi semakin jauh. Niatnya hanya satu, mencoba peruntungan lagi di tanah rantau. Balikpapan menjadi kota tujuannya.

Ia bergeser dan membenahi sarungnya lalu meringkuk kembali di sisi yang lain.

Kembali angannya melayang. Satu demi satu kenangan dan peristiwa muncul dalam ingatannya, manis dan pahit bercampur aduk dalam bejana rasa. Mulanya, canda tawa dan selaksa rasa bahagia bergulir dengan indah kemudian berganti dengan pahitnya pertengkaran dan getirnya rasa kecewa yang semakin memanas lalu membara, membakar dan menghanguskan segalanya.  Semuanya lenyap, seolah tersapu badai prahara.

Hingga sebulan yang lalu.

Masih terngiang-ngiang di telinganya ketika istrinya berkata, "gara-gara mas mengambil keputusan yang salah maka saya dan anak-anak menjadi terlantar di kampung orang."

Hatinya perih.

Memang ia yang mengambil keputusan tapi tidak ada sedikit pun niatan di hatinya untuk menelantarkan keluarganya, justru ia ingin membahagiakan mereka. Namun kenyataan berkata lain, langkah untuk merubah nasibnya ternyata tidak sesuai harapan.

Pekerjaan di kota Metropolitan yang diharapkan mampu merubah ekonomi keluarganya ternyata tidak sesuai dengan yang kenyataan. Gesekan dengan lingkungan kerja, benturan nurani, tuntutan istri yang beraneka macam dan kerasnya kehidupan kota Jakarta membuatnya menyerah.

Padahal keluarganya sudah terlanjur diboyong ke kampung halaman dan sudah banyak biaya yang dikeluarkan.

Semua itu tidak sepadan dengan harapannya semula, sekarang ia harus memulai lagi dari titik nol.

Meskipun niatan awal di dalam hatinya adalah keinginan untuk merubah hidup yang sering kekurangan namun orang lain termasuk istrinya menilainya salah. Dan beban kesalahan sepenuhnya dilimpahkan padanya.

Sekarang ia harus terpisah dari keluarganya, mencoba mengais rejeki di perantauan. Sudah banyak kota ia singgahi, berbagai jenis pekerjaan sudah ia jalani namun semuanya tidak bertahan lama.

Sedih, kecewa dan marah bergolak dalam hatinya. Lebih-lebih ketika menyadari bahwa teman-temannya di perantauan juga memandang rendah dirinya. Kegagalan demi kegagalan membuat dirinya tidak berarti di mata mereka.

Sampah, pecundang dan perusuh keadaan adalah stempel yang disematkan mereka kepadanya. Sehingga satu per satu mereka menghindar ketika dirinya membutuhkan bantuan atau sekedar bersilaturahmi.

Tidak terasa, titik air mata menetes di sudut matanya.

"Tuhan ampuni hambamu, ampuni dosa-dosaku, ambillah nyawaku jika memang diriku sudah tidak berarti lagi." Bait-bait senandung doa putus asa keluar dari bibirnya diiringi tetesan air mata yang semakin deras mengalir.

Rintik hujan di tengah malam seolah turut merasakan derita hatinya.

"Apa sebenarnya salah dan dosaku sehingga nasibku berakhir seperti ini?" Batinnya berusaha mengkoreksi diri.

"Selama ini saya mencoba berbuat baik terhadap orang lain tetapi di saat begini, kenapa mereka enggan memberi pertolongan?"

"Apakah ini yang disebut 'karma pala' atau buah perbuatanku di masa lalu? Apa yang harus aku lakukan agar lepas dari derita ini?"
Semakin dia tenggelam dalam proses interopeksi diri, semakin dirinya terjatuh dan hanyut dalam rasa sedih yang berkepanjangan. Kebaikan, toleransi dan solidaritas terhadap teman malah membuat diri dan keluarganya menjadi sengsara.

Malam beranjak semakin kelam, ia semakin tepekur dalam pencariannya, di puncak rasa sedihnya, tiba-tiba jantungnya berdegup keras tanpa disadarinya.

Dug .. Dug .. Dug ..

Jantungnya berdetak berirama, jelas terdengar di telinga dan terasa memenuhi indranya.

Seolah ada kekuatan yang memerintah, ia mengikuti irama detak jantungnya lalu menyebut nama Allah Sang Maha Hidup.

Allah .. Allah .. Allah ..

Semakin lama semakin khusyu', semakin ia tenggelam dalam hidayahNya. Sunyi dan sepinya malam seolah akrab dalam dirinya, lebur dalam hasratnya membuatnya luluh dalam kasih sayang Sang Maha Rohman dan Rahim.

Kesedihan dan rasa putus asa pelahan sirna, keraguan akan masa depan musnah berganti rasa pasrah dan tidak berdaya. Hanya tunduk dalam karsaNya.

"Aku lahir, sendiri, tidak punya apa-apa. Mati pun aku sendiri, lalu kenapa aku meratapi hartaku yang telah hilang? Kalau Allah yang Maha Kaya menghendaki maka dalam sekejap Dia akan memberi dan dalam sekejap pula Dia mengambilnya kembali."

Manusia adalah hamba yang tidak berdaya, hanya karena kehendakNya, hanya karena kuasaNya dan hanya karenaNya, hamba bisa berbuat.

Illah, billah, lillah.

"Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang jadikan aku hambaMu yang baru, buanglah kotoran dan nista yang melekat dalam jiwa dan raga, angkatlah hambaMu ini dari lembah kemiskinan dan kesengsaraan." Itu doa yang terucap sebelum lelap datang menjemputnya.

Entah apa yang akan terjadi esok, ia pasrahkan semuanya dalam kehendakNya.

Demikian cerita pendek yang berjudul "Senandung Doa Sang Pengembara", semoga dapat menjadi cermin dan inspirasi bagi para pengembara kehidupan yang sedang terpuruk.






0 komentar:

Posting Komentar