Ngrowot II - Nasehat Toha tertanam dalam benak Brodin. Selama ini ia memang tertarik dengan hal-hal yang berbau supra natural, namun belum menemukan seorang pembimbing atau guru spiritual yang sesuai dengan apa yang sedang dicarinya. Untuk mempelajari hal-hal tertentu, Ia lebih suka belajar dari orang-orang yang sudah dikenalnya.
Kejadian yang baru saja dialami membuatnya sadar bahwa Toha yang selama ini dikenalnya, seorang sopir bis, ternyata mempunyai kemampuan supra natural yang hebat. Hanya dengan memegang tangan saja ia bisa menyalurkan kemampuannya hingga orang lain dapat merasakan atau melihat apa yang dilihatnya.
Di jaman sekarang ini, sungguh jarang orang seperti dia, penampilannya sederhana, mengenakan sandal jepit, celana jeans belel, kaos oblong dan selalu menutup kepalanya dengan songkok hitam. Sikapnya konyol, lucu dan suka berbuat iseng.
Bagi Brodin, Ngrowot selama empat puluh hari adalah sebuah tantangan yang cukup berat. Kebiasaan makan sate, rawon apalagi bakso sangat sulit dihentikan dan dihindari.
Namun keinginan untuk bisa melihat mahluk gaib dan keinginan untuk memiliki kemampuan seperti Toha, sangat mempengaruhi pikirannya. Dalam benaknya, kemampuan seperti ini bisa dibanggakan dan dipamerkan dihadapan teman-temannya.
Dengan niatnya itu ia mencoba menjalankan laku ‘ngrowot’, namun baru satu minggu berjalan, godaan yang membatalkan laku-nya datang, teman-temannya dari Jakarta mengunjunginya. Mereka mengajak makan “sego kikil” yang terkenal di Mojosongo. Demi menghormati tamunya, Brodin terpaksa membatalkan puasa-nya dan ikut makan “sego kikil”.
Minggu berikutnya, Brodin memulai lagi tirakatnya, setelah dua minggu berjalan, datang lagi godaan yang membatalkan puasa-nya. Kali ini teman-temannya dari Malang yang datang mengunjunginya. Mereka mengajak makan “rawon” yang terkenal di Jombang. Brodin mencoba menolak dengan memesan menu makanan lainnya, namun aroma “rawon” yang menyengat hidung dan melihat begitu lahapnya teman-temannya makan, terpaksa ia membatalkan lagi puasanya.
“Aduh, susah betul mau melihat demit. Batal lagi tirakat-ku.” Batin Brodin.
Namun keinginannya belum padam, minggu berikutnya ia menjalankan lagi tirakat “ngrowot”. Dengan satu kemantapan tekad, “kali ini, harus berhasil.”
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, pada waktu sahur dan berbuka, ia hanya makan nasi putih dengan lauk sayur ditambah tempe dan tahu saja. Dengan perlahan ia dapat melupakan rasa daging, ikan dan ayam. Dua minggu pertama, badannya lemas tak bertenaga namun ia bertahan sehingga semakin lama tubuhnya menjadi terbiasa.
Tanpa terasa empat puluh hari sudah dilewatinya.
Namun meskipun tirakat ‘ngrowot’ nya sudah selesai, Brodin menjadi terbiasa dengan pola makannya. Ia merasakan banyak perubahan yang terjadi di dalam dirinya, menjadi lebih sehat, lebih tenang dan tidak emosional seperti biasanya, pengaruh makanan.
Sehingga ia memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian.
“Terus kapan aku bisa melihat demit? Kok sampai sekarang belum bisa.” Pertanyaan yang terngiang dalam hatinya.
Malam itu, adalah malam Jum’at Kliwon, malam yang keramat bagi masyarakat Jawa.
Brodin naik sepeda menyusuri jalanan kota Jombang.
Jombang juga dikenal dengan sebutan Kota Santri, karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayahnya. Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Di antara pondok pesantren yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, Pesantren Attahdzib (PA), dan Darul Ulum (Rejoso).
Banyak tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan di Jombang, di antaranya adalah mantan Presiden Indonesia yaitu KH Abdurrahman Wahid, pahlawan nasional KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim, tokoh intelektual Islam Nurcholis Madjid, serta budayawan Emha Ainun Najib dan seniman Cucuk Espe.
Konon, kata Jombang merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa yaitu ijo (Indonesia: hijau) dan abang (Indonesia: merah). Ijo mewakili kaum santri (agamis), dan abang mewakili kaum abangan (nasionalis/kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dan harmonis di Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah Kabupaten Jombang.
Pada hari-hari biasa, pusat perbelanjaan dan toko-toko tutup jam 9 malam, namun jika hari malam Jum’at pusat perbelanjaan tutup lebih awal lagi. Sehingga Brodin dengan leluasa mengendarai sepedanya karena arus lalu lintas tidak terlalu ramai, hanya satu dua mobil dan sepeda motor yang lewat.
Dikayuh sepedanya dengan santai, melewati jalanan yang lenggang, saat melewati sebuah jembatan yang menghubungkan sebuah sungai, ia berhenti. Dari kejauhan, Ia melihat adanya keramaian seperti pasar malam yang sering diadakan di lapangan-lapangan desa. Lampu-lampu menyala terang, menyinari aktifitas hiburan, judi dan warung makan dadakan.
Brodin mendekat. Ditaruhnya sepedanya di tempat yang aman lalu ia berjalan memasuki keramaian pasar malam itu. Ada permainan ‘Dadu’, “Tjap ji kie’ dan permainan judi lainnya. Saat ia mau ikut bertaruh di permainan Dadu, sang Bandar menolaknya, demikian di permainan-permainan judi lainnya, semuanya tidak menerimanya.
Brodin menjadi kesal, ia kembali ke permainan Dadu, dikeluarkannya uang puluhan ribu yang ada di kantongnya.
“Saya bawa uang.”
“Maaf Mas, disini bukan tempat untuk sampean.” Jawab Sang Bandar.
“Terus tempat untuk saya dimana?” Tanya Brodin geram. Sang Bandar acuh. Brodin menjadi semakin kesal, ditendangnya alat permainan dadu yang sedang dipegang oleh Bandar. Dadu itu berhamburan, sang Bandar terkejut lalu serentak bersama teman-temannya, berdiri mau mengeroyok Brodin.
Brodin berdiri tegak dengan tenang, menunggu serangan yang akan datang. Namun beberapa saat mereka hanya diam saja. Brodin mendekati sang Bandar, berdiri berhadapan. Namun jantungnya terkesiap saat melihat wajah orang itu tidak memiliki garis yang menghubungkan antara hidung dengan mulutnya. Garis kehidupan.
Terngiang di telinganya kata-kata Toha, “Kalau orang tidak memiliki garis itu, maka dia bukan manusia, dia golongan mahluk gaib.”
Reflek Brodin mengucapkan, “Astagfirullah ...”
Selesai mengucap kalimat itu, seketika Brodin mendapati dirinya berada di tengah sungai, untung waktu itu adalah musim kemarau sehingga air sungai hanya sebatas telapak kaki. Semua pemandangan yang dilihatnya, keramaian pasar malam, orang-orang yang sedang bermain judi lenyap tanpa bekas. Tempat itu menjadi gelap gulita, seperti hari biasa saat ia melewatinya.
Sadar apa yang sedang terjadi, Brodin bergegas meninggalkan tempat itu. Gelapnya malam menghalangi pandangannya sehingga ia harus berulang kali terpeleset dan terjatuh. Setelah menemukan sepedanya, dengan cepat ia naik lalu dikayuhnya, pulang dengan hati bergetar dan perasaaan tidak menentu.
“Tidak saya duga, ternyata aku baru saja ketemu demit.” Batin Brodin.
Baca Juga : Ngrowot I, Ngrowot III
0 komentar:
Posting Komentar