Home » » Makna Dibalik Tradisi Nginang

Makna Dibalik Tradisi Nginang

Makna Dibalik Tradisi Nginang - Pada saat saya masih duduk di bangku SD, di kampung saya, masih sering terlihat  nenek-nenek duduk berkumpul di beranda rumah sambil mengunyah sesuatu. Tidak lama kemudian terlihat bibir dan giginya berwarna merah setelah itu mereka mengunyah gumpalan tembakau sampai pipinya menggelembung.

Makna Dibalik Tradisi Nginang

Saya bertanya kepada mereka  tentang apa yang sedang mereka lakukan, mereka mengatakan sedang 'nginang'. Saat itu, saya tidak bertanya terlalu jauh tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kebiasaan 'nginang' ini.
 
Sekarang ini sudah sangat jarang kita temukan seorang wanita yang menjalankan tradisi 'nginang' dan makan telor asin.

Mungkinkah tradisi ini sudah punah dan hanya tinggal kenangan saja?

Mungkin sekali jika tidak ada generasi muda yang mau mewarisi dan menjalankan tradisi tersebut. Namun, saat saya mengunjungi kota Solo dan Jogyakarta, tradisi tersebut ternyata masih ada meskipun sudah semakin jarang.

Ternyata, tradisi 'nginang' ini sudah ada sejak jaman kerajaan Singosari dan Majapahit atau bahkan sebelumnya, terutama di kalangan raja dan para bangsawan.

Melalui tradisi ini, Sunan Kalijaga memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya seperti apa yang dilakukannya terhadap budaya wayang kulit yang menjadi kesukaan masyarakat Jawa yang masih menganut agama terdahulu.

Tradisi Nginang dan Makan Telor Asin selain mengandung makna filosofi yang tinggi sebagai jalan dalam syiar agama Islam juga merupakan sarana berdoa memohon kebahagiaan hidup.

Tradisi ini sudah terjadi sejak jaman Raden Patah dari kerajaan Demak sampai keturunan dinasti Mataram Islam sekarang ini yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogyakarta.

Karena makna filosofi yang terkandung di dalamnya maka sampai sekarang tradisi tersebut tetap dijalankan meskipun semakin lama semakin pudar.

Sampai sekarang di sebelah kanan dan kiri masjid Agung, Solo, masih dapat kita temukan penjual kinang dan telor asin yang berdagang setiap hari, meskipun jumlahnya semakin berkurang. Hanya saat keraton mengadakan perayaan malam Sekaten, jumlah penjual kinang dan telor asin cukup banyak.

Menurut KRHT Pujodiningrat, seorang ulama kraton Surakarta Hadiningrat, menjelaskan bahwa kinang dan telor asin memiliki makna filosofi kehidupan yang dalam bagi manusia yang ingin meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.

Nginang merupakan kebiasaan para wanita jaman dulu yang sekarang sudah tua. Kinang terdiri dari daun Suruh, kapur dan daun Gambir dikunyah sampai lembut lalu diludahkan. Kemudian untuk membersihkan gigi digunakan Susur (tembakau yang dibentuk bulat atau di-'kepel') sebagai sikatnya. Akan lebih sempurna lagi jika ditambahkan bunga Kanthil.

Kebiasaan ini dipercaya dapat membuat gigi kuat dan awet muda.

Baca Juga :

Makna Dibalik Tradisi Nginang

Kinang saat dikunyah memiliki 6 jenis rasa yaitu pedas, manis, asam, pahit, asin dan getir. Keenam rasa tersebut merupakan simbol dari pengalaman hidup manusia yang pernah dirasakan.

Kinang terdiri dari 5 unsur yaitu daun Suruh, Gambir, kapur, tembakau dan bunga Kanthil merupakan simbol dari Rukun Islam.
Makna Dibalik Tradisi Nginang

Tiga unsur pertama yaitu daun Suruh, kapur dan Gambir yang dikunyah sehingga orang yang mengunyahnya merasakan perpaduan rasa sehingga terasa enak mempunyai makna jika orang tersebut sudah menjalankan 3 rukun Islam yaitu Syahadat, Sholat dan Puasa dengan baik dan benar.

Kemudian, 2 unsur yang digunakan untuk menyikat gigi yaitu tembakau dan bunga kanthil merupakan simbol dari rukun Islam yang keempat dan kelima, Zakat atau shodaqoh dan Haji.

Tembakau susur yang dibentuk bulat atau 'kepleng' mempunyai makna kebulatan tekad untuk menjalankan agama. Sedangkan bunga Kanthil mempunyai makna agar semua nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kinang dan telor asin tersebut selalu 'kumanthil' atau tertanam di dalam hati.

Jika sudah dapat menjalankan kelima rukun Islam tersebut maka dapat dikatakan manusia tersebut sempurna hidupnya di dunia dan memiliki bekal untuk kehidupan di akherat kelak.

Telor asin yang terbuat dari telor bebek yang dimasak dan diberi rasa asin atau disebut telur amal merupakan simbol agar manusia beramal. Sehingga kita harus selalu berusaha untuk melakukan amal perbuatan yang baik dan membantu sesamanya yang membutuhkan.

Karena ketika kita meninggal bukan harta benda yang kita bawa melainkan tiga perkara yaitu amal, ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh. Hanya 3 perkara itu yang bisa menyelamatkan kita di akhirat.

Selain itu telor asin yang terdiri atas dua warna yaitu putih dan kuning merupakan simbol laki-laki dan wanita. Putih mewakili laki-laki dan kuning mewakili wanita, perpaduan keduanya menghasilkan buah keturunan. Sehingga telor asin disebut telor amal yang berarti kesempurnaan.

Makna itulah yang diajarkan oleh leluhur kita pada jaman dahulu yang menjadi tradisi di Jogyakarta dan Solo.

Dengan menjalankan tradisi ini, kita akan mengingat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya lalu menerapkan dalam kehidupan kita.

Apa Hubungan Kinang dengan Telor Asin?

Secara lahiriyah, setelah seseorang mengunyah kinang yang rasanya getir dapat ditawarkan dengan memakan telor asin.

Itulah sebabnya jika ada seorang penjual kinang pasti ada penjual telor asin atau seorang penjual menyediakan keduanya.

Mengapa hanya wanita ?

Pada umumnya yang menjalankan tradisi 'Nginang' ini memang para wanita namun tidak jarang juga para lelaki jaman dulu yang melakukannya.

Alasan lainnya adalah wanita merupakan sosok ibu bagi anak-anaknya, dari seorang ibu yang baik dan memahami makna kehidupan akan melahirkan dan mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang baik juga.

Mengapa Para Pedagang Masih Berjualan Meskipun Sepi?

Para penjual kinang dan telor asin mempunyai keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi ini sehingga dengan terus berjualan, mereka berharap dapat mempertahankan tradisi ini. Meskipun apa yang didapat dari penjualan kinang dan telor asin ini tidak seberapa nilainya.

Perkembangan Tradisi Kinang

Pada jaman Raden Patah memerintah kerajaan Demak, setiap acara Maulud Nabi, kraton membuat acara Sekaten. Acara Sekaten ini berlanjut sampai dinasti kraton Surakarta dan Jogyakarta.

Dimana pada perayaan tersebut banyak bermunculan penjual kinang dan telor asin yang terus berkembang sampai sekarang.

Demikian makna yang terkandung dalam tradisi Kinang dan Telor Asin. Semoga dapat menambah pengetahuan kita sehingga hati kita tergerak untuk melestarikan tradisi leluhur ini.

Sumber : Panyebar Semangat


0 komentar:

Posting Komentar