Home » » Sunan Boto Putih : Penyebar Agama Islam Dari Blambangan

Sunan Boto Putih : Penyebar Agama Islam Dari Blambangan

gambar ulama
Sunan Botoputih, nama yang jarang dikenal orang ini sebenarnya adalah salah seorang penyebar agama Islam yang makamnya berada di Dukuh Boto Putih, Surabaya, sebelah timur komplek Sunan Ampel, melintasi sungai Pegirian.

Sunan Botoputih disebut juga Ki Ageng Brondong, nama aslinya adalah Pangeran Lanang Dangiran. Disebut Ki Ageng Brondong, karena dahulu menurut cerita, dia adalah  seorang pertapa yang sakti mandraguna, yang masih menganut Agama Hindu berasal dari Blambangan. Lalu bertemu Sunan Bonang di daerah Brondong, Tuban.

Baca Juga : Asal-usul Kota Surabaya

Asal-Usul Pangeran Lanang Dangiran


Pangeran Pandan Salar yang bergelar Bhrawijaya IV, Raja Kerajaan Majapahit, menurunkan Pangeran Bondan Kedjawan yang di beri kekuasaan di Tegal Wangi. Pangeran Bondan Kedjawan menurunkan Wongsonegoro yang menjadi Bupati Pasuruan dengan sebutan Nitinegoro dan menurunkan Kromowidjoyo sampai pada Lembu Niroto yang diutus menguasai daerah Blambangan dan menurunkan Pangeran Kedawung.


Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawang Alun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran.

Kisah Sunan Boto Putih

Suatu ketika saat sedang bertapa di dasar laut, ada pusaran air di dasar laut yang membawanya sampai ke pesisir utara Tuban. Dia masih belum tergoda dalam keadaannya. Pada saat bersamaan, di pesisir utara Tuban, datang seseorang yang berwibawa dengan wajah bersih bersinar, menebarkan harum bunga kasturi, memakai sorban dan jubah putih yang menjadi ciri khasnya, berjalan mengelilingi bibir  pantai dengan memegang tongkat ditangan kanannya. Dia adalah Sunan Bonang.

Sunan Bonang menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah batu besar,  beliau melihat sekelilingnya, tampak sebuah perahu yang sedang tertambat, beliau mengambil jaring yang ada di perahu itu,  lalu berjalan kearah laut, ketika air laut mencapai setengah pinggangnya, Sunan Bonang menebarkan jaring itu seperti layaknya seorang nelayan yang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Beberapa saat kemudian, jaring diangkat ditarik ke tepi pantai, nampak sesosok manusia dengan badan banyak ditumbuhi lumut dalam posisi masih bersemedi. 

Sunan Bonang berkata “Wahai, orang yang sedang bertapa dengan segenap jiwa dan keteguhan iman yang mendalam, maka bangunlah dari semedimu …”. 

Mendengar ucapan Sunan Bonang, pertapa itu membuka matanya, dengan kesaktiannya sekejap ia sudah berada di luar jaring. Matanya menatap tajam ke arah Sunan Bonang.

Apa maksud kisanak membangunkanku?“. Pertapa itu bertanya.

“Bukan maksud hati menganggu pertapaan anda, tapi kalau bertapa jangan kelantur-lantur, hasilnya kurang baik.” Kata Sunan Bonang.

Sampean itu siapa ?” Tanya pertapa itu.

“Aku bernama Makdum Ibrahim, sebangsa Sunan yang mengajarkan agama Islam di wilayah Tuban ini”.

“Repot juga ngomong sama orang yang kementhus, sok suci, sok alim, merasa drajatnya lebih tinggi, sehingga menganggap rendah orang lain.” Kata pertapa itu.

“Yang menganggap anda Sunan itu siapa ? Jangan merasa kalau sebangsa Sunan lalu menganggap diri sebagai Waliullah, anda sudah merusak ketenangan batin saya. Mbok jadi orang jangan usil begitu.” Lanjut Pertapa itu.

Mendengar perkataan pertapa itu, telinga Sunan Bonang terasa panas, lalu dia berkata “Yang menganggu orang itu siapa, saya hanya menebar jaring untuk menjaring ikan, bukan bermaksud menjaring anda”

Sambil tersenyum pertapa itu berkata “Katanya anda seorang Sunan, tapi kenapa anda ingkar?”. 

Akhirnya terjadi perang mulut diantara mereka, sampai akhirnya diputuskan untuk adu kesaktian dengan taruhan siapa yang kalah akan menganut agama dan menjadi murid yang menang.

Pertapa itu mengajak mengadu kesaktian di dalam laut. Keduanya lalu masuk ke dalam laut, bagi mereka tidak ada perbedaan antara di laut dan di darat. Saat itu Sunan Bonang bertemu dengan hewan-hewan laut, seperti ikan, kuda laut, terumbu karang, kerang dan lain-lain. Mereka diajak bertegur sapa, seakan-akan mereka sudah saling mengenal. 

Sang Pertapa bingung melihatnya lalu bertanya “Anda berbicara dengan siapa, kog bahasanya aneh dan asing ditelinga saya?”

“Itu tadi saya menyapa penghuni laut dengan memakai bahasa mereka “ Jawab Sunan Bonang.

“Apa ada ilmu seperti itu, saya belum pernah mengetahuinya. Sepengetahuan saya hanya ‘Aji Gineng’ yang bisa membuat pemiliknya mengerti bahasa binatang, tapi disini tidak bisa saya pakai?” Tanya pertapa itu.

“Semua ilmu yang ada di bumi, baik di darat maupun di lautan adalah ilmu Allah, bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin” Jawab Sunan Bonang.

Disini pertapa itu mengakui keunggulan Sunan Bonang, sesuai dengan janjinya maka ia masuk dan menganut agama Islam dan menjadi murid Sunan Bonang. Oleh Sunan Bonang Pertapa itu diberi nama baru yaitu Ki Ageng Brondong, karena ia terkena jaring waktu berada di daerah Brondong, Tuban.

Kemudian Ki Ageng Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya pada Tahun 1595 dan menetap di seberang timur kali Pegirian, dekat Ampel ada daerah bernama Dukuh Boto Putih (Batu Putih).

Ditempat baru inilah Kiai Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dari masyarakat, karena keluhuran budinya. Kiai Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun1638 dalam usia kurang lebih 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyo dan Honggowongso.

Bupati Sidoarjo yang pertama (RadenTumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863), adalah keturunan dari Honggodjoyo. Kiai Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) sendiri dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih, Surabaya.

Di area pemakaman Sunan Botoputih, ada makam-makam keramat lainnya seperti makam Syech Habib Ahmad Muhamad, makam Kyai Honggo Wongso, Kyai Honggo Wijaya, makam Pangeran Banten ke XXI, makam bupati Sidoarjo I, dan komplek pemakaman bupati Surabaya I,II,III beserta punggawanya.

Demikian sepenggal kisah tentang Sunan Boto Putih atau Ki Ageng Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran.

0 komentar:

Posting Komentar