Ngrowot - Jam 5 sore, Brodin sudah duduk manis di bangku bis jurusan Jombang-Malang, deretan paling depan, dekat dengan sopir.
Sudah hampir satu bulan lamanya ia tidak pulang ke kampungnya di Malang. Biasanya setiap seminggu sekali ia pulang, namun di bulan itu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, membuatnya harus tetap berada di Jombang. Baginya waktu satu bulan terasa sangat lama sekali. Kangen bertemu emaknya khususnya masakan emaknya, rindu teman-temannya.Bayangan mereka melintas dalam lamunannya hingga tidak terasa bis sudah berangkat menuju kota Malang.
Perjalanan menuju kota Malang kurang lebih 2 jam lamanya disambung dengan angkutan kota menuju rumahnya, kira-kira jam 8 malam dia akan sampai.
Baca Juga : Misteri Waktu Maghrib, Misteri Genderuwo dan Kesukaannya
Rute perjalanan ini sudah sering dilaluinya sehingga sebelum melewati jalanan yang berkelak-kelok, ia menyempatkan dirinya tidur barang sejenak atau hanya sekedar melepaskan ketegangan otot-ototnya untuk kemudian bersiap menghadapi rute yang membuat mual dan pusing.
Pada siang hari, pemandangan pegunungan yang sangat indah ditambah hamparan sawah nan hijau, akan membuat perjalanan terasa menyenangkan. Namun pada senja hari, gelapnya malam seolah menghalangi untuk menikmati keindahan alam. Apalagi ketika memasuki jalan yang berkelok-kelok, bagi yang belum terbiasa, akan membuat kepala dan lambung terasa berputar-putar.
Sopir bis, Toha namanya, sudah sangat dikenalnya, sudah lebih 10 kali ia naik bis ini dengan sopir yang sama sehingga ia tahu kebiasaan dan sifatnya. Merasa aman, brodin lelap dalam tidurnya. Tidak lama kemudian terdengar suara ngoroknya, seperti suara gergaji kayu. Toha hanya tersenyum melihatnya, dengan songkok hitam di kepalanya dan sebatang rokok di mulutnya, ia mengendarai bis menyusuri jalanan dengan tenang.
Jam 6 sore bis sudah melewati daerah Kandangan kemudian memasuki rute yang penuh dengan kelokan yang tajam, karena jalanan sempit dan kanan-kirinya adalah jurang maka sopir bis harus sangat berhati-hati. Brodin bangun, dan bersiap menghadapi rute itu.
“Sudah jadi berapa Din, kusen dan pintunya?” Tanya Cak Toha.
“Kusen apa Cak?”
“Kamu tadi tidur, suara ngorokmu seperti tukang kayu yang sedang menggergaji kayu buat kusen dan pintu.”
“Mosok Cak? Kesel aku, lek kesel biasane aku ngorok.”
“Raimu Din.. kesel gak kesel yo tetep ae koen ngorok.”
Brodin hanya tersenyum.
Terdengar suara adzan Maghrib berkumandang, seperti di komando, para penumpang bis bangun dan duduk dengan sikapnya masing-masing. Ada yang sholat sambil duduk, ada yang duduk tapi mulutnya komat-kamit membaca doa, ada juga yang cuek memejamkan matanya tapi mungkin berdoa dalam hati. Mereka semua paham kalau sekarang memasuki daerah yang angker, pada siang hari mungkin bisa diabaikan, tapi jika pada malam hari, khususnya saat Maghrib, mereka harus waspada.
Brodin cuek saja.
Tiba-tiba Cak Toha mencolek tangan Brodin.
“Coba lihat ke samping kirimu, ada orang tua memikul kayu.”
Brodin menoleh ke arah yang ditunjukkan Toha.
“Tidak ada apa-apa Cak.”
“Orang tua itu dari tadi mengikuti bis kita, padahal beban yang dipikulnya kelihatannya sangat berat, tetapi dia mampu mengejar kecepatan bis ini.”
“Mosok Cak? Sampean iki iso-iso ae.” Kata Brodin acuh. Cak Toha tersenyum, bis meninggalkan jalanan berkelok dan melaju memasuki perkampungan. Tidak lama kemudian setelah melewati kota Batu, bis sudah memasuki terminal Landungsari.
“Suwun Cak Toha.” Kata Brodin sambil meninggalkan bis.
Dua minggu kemudian Brodin naik bis yang sama menuju kota Malang, Toha sudah standby di kursi sopir. Songkok hitam dan kepulan asap rokok menjadi ciri khasnya.
“Pulang lagi Din?”
“Ya Cak, malam minggu ndek kene sepi. Enak ndek Malang.”
Setelah saling mengabarkan keadaan mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Brodin mengatur posisi bersiap untuk tidur. Tidak lama kemudian bis berjalan melenggang meninggalkan kota Jombang.
Menjelang Maghrib, Toha mencolek tangan Brodin.
“Disamping spion sebelahmu, ada cewek cantik.” Kata Toha.
“Endi Cak?” Brodin segera mencari namun tidak ada seorang pun yang dilihatnya, hanya bayangan pohon-pohon yang mulai kabur.
“Gak onok Cak, sampean iki nggedabrus ae.”
“Ancene matamu bidok, Nanti saja kalau ada lagi, saya kasih tahu kamu.” Jawab Toha kesal.
Bis berjalan pelan menyusuri jalan yang penuh dengan tikungan pendek, saat melewati pohon randu tua, Toha memperlambat bisnya. Tangannya memegang erat tangan Brodin.
“ Ndek isore wit onok koncomu, deloken.”
Brodin terperanjat saat Toha memegang tangannya, namun ketika menoleh ke arah pohon randu tersebut. Jantungya seperti copot, hampir saja ia melompat dari tempat duduknya. Dalam pandangannya tampak mahluk hitam berbulu dengan mata merah menyala dan mulut menyeringai, hingga kelihatan taring-taringnya yang tajam berkilau. Mahluk itu melambaikan tangannya ke arah Brodin seolah mengucapkan, “selamat jalan bro.”
Brodin bergidik ngeri, dikibaskan tangan Toha. Setelah terlepas, pandangannya kembali hanya menatap kegelapan malam.
“Opo iku Cak?”
“Itu mahluk penunggu pohon waru.”
“Kok sekarang saya bisa melihat?”
“Karena saya memegang tanganmu.”
“Berarti sampean selama ini bisa melihat mahluk halus?” Tanya Brodin, Toha mengangguk.
“Bagaimana caranya supaya bisa seperti sampean?”
“Mahluk halus atau mahluk gaib itu darahnya dingin, kalau kita mau melihatnya, kita harus mendinginkan darah kita.”
“Caranya ?”
“Ngrowot, suatu laku tirakat yang biasa dilakukan orang Jawa dengan cara makan nasi sama sayur saja, tidak makan ayam, daging dan makanan yang bernyawa lainnya.”
“Kalau pakai kuahya saja boleh Cak? Nasi ditambah kuah rawon, soto atau bakso?”
“Tidak boleh.”
“Berapa lama Cak?”
“Empat puluh hari. Buat apa kamu tanya? Memang kamu mau mengamalkannya?”
“Nggak Cak, tanya saja.”
“Telek koen.” Hardik Toha, Brodin hanya nyengir saja.
Baca Juga : Ngrowot II : Ketemu Demit
0 komentar:
Posting Komentar