Home » » Laskar Gondo Rukem

Laskar Gondo Rukem

"Tik .. Tik .. Tik ..".

Jari-jari Brodin menari-nari di atas keyboard komputer, bak memainkan sebuah simfoni, kadang cepat, kadang lambat dan sesekali berhenti kemudian lanjut lagi mengikuti perintah yang mengalir dari kepalanya.

Waktu seolah berlalu dengan cepat, tak terasa sudah saatnya makan siang namun ia belum juga menghentikan pekerjaannya. Lagi 'mood', kalau sudah begini ia tidak mau di ganggu sampai pekerjaannya selesai.


Jam 3 sore pekerjaannya selesai, bergegas dia memberi laporan kepada atasannya lalu minta ijin makan siang.

Setelah mendapatkan ijin, segera ia menuju warteg langganannya, langsung memesan nasi campur, air putih dan segelas kopi susu.

"Kemana saja Din? Sudah satu Minggu lamanya tidak datang ke sini." Kata Kang Anto pemilik warteg.

"Ikut Mas Sigit,  pulang kampung Kang."
Tidak begitu lama pesanannya datang, lalu ia makan  dengan lahapnya.

Setelah makan, dinyalakan sebatang rokok,  dihisapnya dengan penuh perasaan lalu dihembuskan asapnya perlahan-lahan, seolah membuang beban dalam pikirannya.

Kang Antok memandangnya sambil tersenyum.
"Kamu kelihatan lebih sehat dan segar sekarang. Hari Jum'at kemarin ada rombongan orang mencarimu."

"Teman-teman saya Kang?"

"Bukan, mereka datang mencari kamu karena tidak ketemu, mereka marah-marah, sepertinya mau berbuat jahat sama kamu. Sebaiknya kamu pindah dulu ke tempat lain daripada terjadi apa-apa nanti."

Brodin terdiam, dicobanya mengingat apa yang pernah dilakukannya sehingga dicari sekelompok orang.

"Mereka bilang dari mana, kelompok mana?"

"Orang-orangnya tinggi besar, hitam dan bertampang seram. Sepertinya orang-orang dari Blok M."

"Wah, bakalan panjang urusan ini." Batin Brodin gelisah.

"Baik Kang, terima kasih nanti saya bicarakan dulu dengan Mas Sigit. Sekarang saya mau kerja lagi."

Pulang kerja, Brodin merebahkan badannya di lantai ruang tamu yang beralaskan karpet plastik. Rumah kontrakannya adalah sebuah rumah petak yang disekat menjadi  ruang tamu, kamar tidur serta dapur dan kamar mandi. Kamar tidur adalah ruangan lebih besar yang dipakai berdua dengan Sigit, masing-masing menggunakan kasur busa yang dipisahkan sebuah lemari plastik.

Pikirannya melayang pada kejadian dua minggu yang lalu.

Hari Sabtu, kantor Brodin libur. Karena bingung tidak ada kegiatan yang dianggap penting, ia lalu duduk di halte bus. Ia berharap Dani, teman sekampungnya, yang mengendarai bus jurusan Pasar Minggu - Blok M akan melihatnya. 

Karena memang jalurnya, tidak lama kemudian bus yang dikendarai Dani lewat. Mata Dani yang liar layaknya mata sopir bus, dengan cepat menangkap sosok temannya. Saat melihat Brodin, Dani langsung menghentikan kendaraannya.

"Ayo naik!" Teriak Dani.

Brodin naik langsung duduk di samping Dani.

"Siapa yang menyuruh kamu duduk? Ayo bangun jadi Kenek, gue sendirian dan baru keluar ini."

"Masak ganteng-ganteng begini jadi kenek?"

"Persiapan kalo suatu saat kamu dipecat."

"Asuu.." Dengan memberengut Brodin lalu berjalan sambil membawa kantong uang yang masih kosong.

"Ongkos .. Ongkos .." Kata Brodin pada penumpangnya. Selesai narik ongkos, ia berdiri di pintu bus sambil berteriak, "blok M .. Blok M .."

Entah sudah berapa kali mereka melewati rute ini, pasar minggu - blok M, blok M - pasar minggu.

Hari itu omzet mereka melebihi target maklum hari libur sehingga banyak orang yang pergi keluar untuk belanja, mencari hiburan atau sekedar jalan-jalan.

Jam 9.30 malam mereka pulang, setelah mengantarkan busnya ke pool bus, Brodin, Dani  dan teman-temannya berkumpul di salah satu pojok terminal.

Tiba-tiba datang Hasan sesama sopir bus bersama tiga orang temannya, nampaknya mereka sedang dalam pengaruh minuman keras. Hasan dikenal sebagai sopir yang memiliki banyak teman-teman preman di Blok M sehingga sikapnya menjadi arogan dan mau menang sendiri.

Sementara Dani adalah sopir yang rajin, suka bercanda dan ringan tangan. Entah ada permasalahan apa di antara Dani dan Hasan, sehingga menyebabkan Hasan tanpa banyak kata langsung menghajar Dani. Dani jatuh tersungkur dengan mulut berdarah, tapi Hasan masih belum puas. Dengan membabi buta dia memukul dan menendang Dani yang sudah tidak berdaya.

Melihat kejadian itu, darah Brodin mendidih. Ia melompat ke arah Hasan, namun tiga orang teman Hasan menghadangnya, sedetik nyalinya menciut  melihat postur lawannya. Tinggi besar dengan tampang menyeramkan.

"Tapi aku sudah pernah berkelahi dengan mahluk yang lebih seram dari mereka, buat apa takut." Batin Brodin menguatkan nyalinya.

"Temanku dianiaya di depan mataku, masak harus diam saja."

Maka  terjadi perkelahian. Tiga lawan satu.

Brodin memanfaatkan kelincahannya dan langsung menyerang ke bagian tubuh lawan yang lemah. Tidak lama kemudian ia berhasil melumpuhkan satu orang, yang paling mabuk dengan pukulan straight kanan tepat mengenai dagu. Sebelum dua orang temannya menyadari segera Brodin menyerang kembali dengan cepat. Pengaruh alkohol membuat lawannya bergerak lamban, sehingga dengan mudah Brodin merobohkannya.

Tinggal Hasan sendirian. Nyalinya putus melihat ketiga temannya dihajar. Tanpa ampun lagi Brodin menghajarnya hingga Hasan jatuh terkapar.

Melihat musuhnya sudah tidak berdaya, Brodin segera menarik Dani lalu memapahnya pergi meninggalkan terminal.

Sebelumnya ia memberi kode kepada teman-temannya.

"Ayo cabut .."

Serentak teman-temannya mengikutinya.

Begitulah peristiwa yang telah terjadi.

"Rupanya Hasan mau memperpanjang urusan itu." Batin Brodin.

"Jauh-jauh merantau ke Jakarta, mau kerja bener-bener, eh, malah berurusan sama orang-orang gila."

"Darimana mereka tahu saya tinggal di sini?"

"Kalau mereka sampai bertemu saya di rumah ini, dampaknya akan banyak sekali. Pertama, saya bisa diusir dari kontrakan ini karena menyebabkan keributan. Kedua, mereka akan mendatangi tempat kerja saya sehingga saat mereka bikin keributan ada kemungkinan saya akan dipecat juga."
"Resiko terakhir adalah resiko yang paling berat, mereka akan mengeroyok lalu menghajar, menganiaya bahkan membunuh saya."

"Apakah sebaiknya saya lari saja? Jika saya lari, apa kata orang-orang? Seumur hidupku akan dikenang sebagai seorang pengecut."

"Akan lebih baik jika saya hadapi saja dengan segala resikonya."

"Daripada terjadi keributan di sini lebih baik saya menyelesaikan masalah ini di luar saja." Tekad Brodin.

"Tapi saya harus pakai strategi menghadapi mereka."

Suara-suara dalam kepalanya berhamburan keluar.

Saat sibuk mempertimbangkan langkah-langkah yang sebaiknya ia lakukan dalam menyelesaikan masalahnya, tiba-tiba Sigit datang dan langsung merebahkan diri di sebelahnya.

“Capek Mas?” Tanya Brodin.

“Ya, seharian meeting terus.” Jawab Sigit.

"Sudah makan Mas?" Tanya Brodin.

"Belum, nanti saja habis sholat Maghrib." Jawab Sigit.

"Omong-omong, Kalau kita pindah kontrakan bagaimana Mas? Bosan saya disini." Lanjut Brodin.

"Dulu, kamu yang mengajak saya tinggal di sini sekarang tiba-tiba mengajak pindah. Ada masalah apa? Terus terang saja."

Brodin lalu menceritakan permasalahannya.

"Berat masalahmu. Tapi saya yang tinggal bersamamu akan menanggung resikonya juga."
"
Makanya saya mengajak pindah, jika ada dampak dari masalah ini, Mas Sigit aman."

Mereka diam sebentar.
"Terus, bagaimana kamu akan menyelesaikan masalah ini?"

Brodin lalu menceritakan rencananya.

"Bagus, memang itu yang harus kamu lakukan."

"Eyang Pramono dulu adalah seorang pejuang kemerdekaan. Namun ada satu kebiasaan beliau sebelum maju perang yang membuatnya selamat.."

"Apa itu Mas?"

"Beliau berpuasa 3 hari"
"Puasa biasa Mas?"
"Mutih, kalau bisa, coba kamu lakukan."
"Baik Mas, mulai besok akan saya jalankan."

Brodin mengikuti nasehat Sigit untuk menjalankan puasa selama tiga hari. Menurutnya, untuk menghadapi orang-orang seperti ini tidak hanya membutuhkan keberanian dan keahlian bela diri saja, tapi juga dibutuhkan mental dan nyali yang cukup besar.
 
Dengan puasa, ia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan sang Pemilik Hidup, Maha Kuasa dan Maha Pengasih serta Penyayang.

Selama tiga hari, Brodin menjalankan puasanya dengan sungguh-sungguh. Sholat lima waktu dan sholat hajat ia kerjakan.

Muncul rasa takut dan khawatir saat memikirkan apa yang akan terjadi. Saat ini ia harus mempertaruhkan masa depan dan hidupnya. Belum lagi akan berurusan dengan hukum.

"Bagaimana sebaiknya menyelesaikan masalah ini?" Pertanyaan yang selalu bergema dalam kepalanya.

Tiba-tiba ia teringat cincin pemberian Mbah Gondo, cincin akik Gondo Rukem. Setelah mengetahui kegunaannya, ia berharap dapat menggunakannya dalam menghadapi masalahnya.

Dalam ingatannya, Mbah Gondo pernah berpesan jika sewaktu-waktu membutuhkan bantuan, ia boleh memanggilnya.

"Hari ini adalah hari terakhir puasaku, biar saya selesaikan dulu puasanya, baru nanti malam berunding dengan Mbah Gondo." Batin Brodin girang. Ada harapan untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara lebih baik.

Ketika dilihatnya Sigit sudah tertidur. Tepat tengah malam, ia pindah ke ruang tamu, dengan berbisik ia memanggil Mbah Gondo.

Digosok-gosoknya cincinnya sambil memanggil, "Mbah .. Mbah Gondo .. Datanglah .." Diulanginya sampai tiga kali.

Tiba-tiba aroma ubi rebus semerbak memenuhi ruangan lalu berhembus angin kencang berputar di hadapan Brodin dan berhenti. Muncul sosok seorang kakek memakai blangkon dan berbaju beskap, perwujudan lain Mbah Gondo.

"Asalamu alaikum .."

"Wa alaikum salam, ada keperluan penting apakah sehingga Nak Brodin memanggil saya?"

"Maafkan saya Mbah sudah mengganggu ketenangan Simbah. Tapi saya sedang menghadapi masalah berat." Lalu Brodin menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Mbah Gondo mendengarkan dengan seksama.

"Oh begitu, kebetulan saya lagi iseng, saya paling senang berhadapan dengan orang-orang seperti itu."

"Tapi jumlah mereka banyak Mbah."

"Tenang saja, saya punya jaringan juga di Jakarta ini, mereka adalah bekas-bekas preman yang ditakuti sebelum mereka mati. Mereka semua masih segan dan hormat sama saya."

"Kenapa Mbah?"

"Karena saya adalah salah satu genderuwo pejuang."

"Berjuang bagaimana Mbah?"

"Saat Sultan Agung menyerang Batavia, saya adalah salah satu senopati yang berperang melawan penjajah Belanda. Meskipun kalah, nama saya masih dikenang sebagai seorang prajurit pejuang."

"Wah hebat Mbah Gondo ini. Terus bagaimana dengan urusan saya?"

"Akan saya kumpulkan teman-teman saya di sini untuk menyerang mereka, tapi .."
"Tapi apa Mbah?"
"Sebetulnya di dunia kami ada hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan bangsa kami. Salah satunya ada larangan menyakiti atau membunuh manusia."

"Maksud saya hanya menakuti dan membuat jera mereka saja tidak perlu menyakiti apalagi sampai membunuh."

"Oh kalau begitu, kami sanggup."

"Baik Mbah, sekarang pertemuan ini kita akhiri dulu, nanti pada harinya saya akan memanggil Mbah Gondo lagi."

"Baik Ngger, Mbah mohon pamit dulu."

Setelah Mbah Gondo pergi, Brodin segera merebahkan badannya ke ranjang dan tidak lama kemudian pulas dalam tidurnya. Tanpa disadarinya sepasang mata mengawasi gerak-geriknya.

"Apa yang dilakukan anak ini? Awas kalau melakukan perbuatan aneh-aneh akan saya hajar dia." Batin Sigit.

Keesokan harinya Brodin bangun dengan badan terasa ringan. Sebagian beban masalahnya sudah teratasi. Setelah mandi ia bergegas menuju warteg, ngopi.

"Kamu belum pindah dari kontrakan lamamu?" Tanya Kang Anto.
"Belum Kang, Mas Sigit tidak mau."
"Terus bagaimana kalau orang-orang itu datang lagi?"
"Belum tentu mereka kembali lagi. Kemungkinan mereka salah orang." Brodin mengelak.
"Mudah-mudahan begitu. Yo wis, hati-hati." Jawab Kang Anto.

Malam harinya Brodin sudah bersiap di pojok perempatan jalan, menghadang orang-orang itu agar tidak masuk ke kontrakannya.. Sengaja ia tidak mau melibatkan teman-temannya mengingat dampak yang akan terjadi bagi mereka.

Brodin duduk di sebuah bangku kayu milik penjual rokok, di belakang gerobak rokok terdapat serumpun pohon bambu yang lebat. Sehingga cahaya lampu jalan terhalang rimbunnya dedaunan.

Mbah Gondo sudah datang lalu duduk di sebelahnya.

"Bagaimana Mbah? Mereka akan datang?" Tanya Brodin.

"Tunggu saja, sebentar lagi."
"Bagaimana teman-teman Mbah Gondo?"
"Tenang saja, mereka bersembunyi untuk menunggu perintah saya."

Kira-kira jam 10 malam, sebuah bus jurusan Pasar Minggu berhenti di seberang jalan.  Delapan orang berhamburan keluar dari pintu bus. Tampang mereka seram, matanya merah akibat pengaruh alkohol, jalannya sempoyongan.

Seolah dikomando mereka berjalan beriringan menyeberang jalan. Kelihatannya mereka sudah terbiasa bekerja-sama, kompak. Pemimpinnya memiliki postur sedang dengan otot-otot lengan menonjol.

Brodin mempersiapkan dirinya, dikenakannya cincin Gondo Rukem sehingga tidak nampak oleh pandangan manusia, menunggu sampai mereka lewat didepannya.

Tidak lama kemudian rombongan itu lewat, Mbah Gondo memberi isyarat kepada teman-temannya untuk segera bersiap.

Rombongan itu terkejut bukan kepalang, saat di hadapannya telah berdiri sosok yang mengenakan topeng berwarna merah dan berambut panjang, menghadang langkah mereka. Disusul sosok-sosok menyeramkan lainnya yang berdiri di belakang sang pemakai topeng.

Keterkejutan mereka dimanfaatkan Brodin yang mengenakan topeng merah untuk menyerang pemimpin rombongan. Pukulan dan tendangannya telak mengenai wajah dan perut hingga dia jatuh tertelungkup. Ketika anak buahnya bergerak mau membantu, pasukan Mbah Gondo segera menghadangnya.

Terjadi kegaduhan saat teman-teman Mbah Gondo menunjukkan wujud aslinya dihadapan mereka. Anggota rombongan itu satu per satu lari berhamburan, seperti ayam kehilangan induknya. Pemimpin rombongan itu sampai terkencing di celana melihat wujud yang menakutkan dari Mbah Gondo. Sementara anak buahnya  masing-masing melihat penampakan yang sangat menakutkan, sehingga lari tunggang langgang.

Tinggal seorang yang tidak menyadari apa yang terjadi, pengaruh alkohol sangat kuat mempengaruhi otaknya hingga hilang rasa takutnya.

"Gue sudah mabuk, kok masih ada setan di depan gue ya .." Katanya sambil menenggak sebotol minuman keras agar lebih mabuk.

Teman-teman Mbah Gondo kebingungan mengambil sikap. Brodin mengambil alih.

"Plakk .. Plakk.. Plakk.." Brodin menampar orang itu.

"Ampun setan .."
"Setan .. Setan .. Lu yang Setan. Siapa namamu?" Tanya Brodin dengan suara berat.

Karena tidak segera menjawab Brodin menghajar perutnya hingga ia tersungkur. Tertatih-tatih ia mencoba bangun sambil menjawab, "Ampun .. Bogang nama saya."

"Siapa yang menyuruhmu ke sini?" Tanya Brodin garang.

"Hasan, Bang setan.."

"Sudah sana pergi, kalau tidak saya hajar lagi kamu."

Bogang ketakutan lalu berjalan tertatih-tatih meninggalkan Brodin.

"Benar dugaanku, Hasan dibelakang orang-orang ini. Semoga kejadian kali ini membuat mereka jera." Batin Brodin.

Setelah orang-orang itu jauh, Brodin mendekati Mbah Gondo.
"Terima kasih Mbah? Terus bagaimana dengan mereka?" Tanya Brodin sambil melihat teman-teman Mbah Gondo.

"Biar saya yang mengurusnya. Bagaimana dengan Hasan?" Tanya Mbah Gondo.
"Saya bingung Mbah, kalau sekarang ini orang-orangnya gagal, lain kali ia akan mengirim orang lain lagi."

"Kita temui dia sekarang." Kata Mbah Gondo.

"Bagaimana caranya?"

"Pegang tangan saya."

Brodin mengikuti perintah Mbah Gondo, seperti terseret dalam pusaran angin. Nyutt, tiba-tiba mereka sudah sampai di terminal Blok M. Di salah satu pojok terminal, Hasan sedang duduk menunggu teman-temannya.

Alangkah terkejutnya ia ketika dihadapannya telah berdiri Brodin. Di belakangnya tampak satu pasukan orang-orang tinggi besar berambut panjang. Laskar Gondo Rukem.

Hatinya gentar, "Ampun Din.."

"Lu masih mau memperpanjang masalah kita?"

"Tidak, mana berani gue."

"Baik, kalau ada orang-orang suruhanmu datang lagi ke tempat gue, gue habisin lu."

Brodin dan rombongannya pergi begitu saja seperti angin lewat. Hasan tercengang, diusap-usapnya matanya lalu ditampar pipinya, terasa sakit.

"Saya tidak mimpi. Siapa sebenarnya Brodin ini, manusia atau hantu? Kalau manusia mengapa bisa menghilang. Berat kalau harus bermusuhan dengannya." Kata Hasan jerih.

Sekejap Brodin dan rombongannya sudah berada kembali di pojok perempatan jalan.

Brodin menyampaikan terima kasih kepada Mbah Gondo dan teman-temannya lalu mereka berpisah.

Brodin kembali ke kontrakannya dengan perasaan lega. Masalah yang mengganggu pikirannya sudah selesai.

0 komentar:

Posting Komentar