Home » » Cincin Gondo Rukem

Cincin Gondo Rukem

Cincin Gondo Rukem - Malam itu, Brodin terlelap dalam tidurnya.

Sudah tiga hari tiga malam ia tinggal dirumah Sigit, sekarang hari keempat. Belum ada tanda-tanda bahwa tuan rumah akan kembali. Rasa lelah dan rasa lega setelah berdamai dengan sang penunggu rumah membuatnya tenang dalam tidurnya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya di rumah itu, dimana ia harus berjaga dan bersiaga menghadapi keisengan sang penunggu rumah. Malam ini telah  hilang rasa khawatir, hilang rasa takutnya. Tinggal rasa lapar yang mendera lambungnya.

Saat matahari sudah tinggi, Brodin bangun. Setelah minum air dan makan pisang yang tinggal beberapa biji lagi, ia duduk di beranda rumah. Bekal rokoknya masih cukup untuk beberapa hari lagi, ia merasa tenang. Jika tidak, mungkin ia tidak akan bertahan tinggal sendiri di tempat yang sepi, tanpa makanan dan hiburan.
cincin gondo rukem
Cincin Gondo Rukem
Sambil menyalakan rokok batin dan pikirannya kembali memberontak untuk segera meninggalkan rumah ini.

"Sudah hampir empat hari lamanya Mas Sigit pergi tapi kok belum juga kembali? Padahal libur kerja hanya tinggal dua hari saja, bagaimana ini?" Batin Brodin gamang.

Apa sebaiknya saya kembali ke Jakarta lebih dulu?

Tapi bagaimana dengan rasa solidaritas dan komitmen terhadap janji yang sudah saya buat sebelumnya? Meskipun hanya di dalam hati. Meskipun hanya pada diriku sendiri. Apakah harus saya ingkari?

Setelah menimbang beberapa lama akhirnya ia dapat menetapkan keputusan yang akan diambil.

"Baiklah saya akan bertahan sampai Mas Sigit datang dan kembali ke Jakarta bersama-sama." Tekad Brodin. 

Akhirnya pemberontakan di dalam hati dan fikirannya dapat di padamkan.

Tiba-tiba Brodin terbangun dari tempat duduknya, baru teringat jika semalam Mbah Gondo memberinya sebuah cincin batu. Segera  ia mencari di kamarnya, ditempat tidur, dibawah bantal, di seluruh sudut kamarnya, namun tidak di temukannya. Kemudian ia mencari di tempat pertemuannya dengan Mbah Gondo, tidak ketemu juga. Lelah mencari ia kembali ke beranda rumah lalu menghempaskan badannya di kursi. Terasa ada sesuatu yang mengganjal pantatnya, ketika dilihat ternyata cincin itu ada di situ.

Ditimang-timangnya cincin itu lalu di amatinya dengan teliti. Sebuah cincin dengan mban perak serta batu berwarna hitam legam. Perpaduan warna yang mencolok, hitam dan putih.

"Lumayan dapat hadiah kenang-kenangan dari Mbah Gondo." Batin Brodin.
"Terus apa kegunaannya? Apakah dengan memakai cincin ini saya bisa tahan terhadap senjata tajam, hantaman benda tumpul atau bahkan peluru? Atau saya bisa menghilang? Kalau memang betul, cocok buat bekal hidup di Jakarta." Pikir Brodin.

"Tapi kalau tidak ada manfaatnya, buat sekedar hiasan di jari tangan saja juga bagus."

Saat sibuk dengan angan-angan dan pikirannya tiba-tiba Brodin dikejutkan oleh suara seorang wanita.

"Asalamu alaikum."

"Wa alaikum salam." Jawab Brodin tergopoh-gopoh.

"Saya disuruh kakek untuk mengantarkan makanan ini buat mas." Kata Gadis itu.

Brodin melongo, sosok gadis cantik, mengenakan daster sederhana, memakai caping petani, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai telah berdiri di hadapannya.

"Mas .. Mas .."

"Eh .. Kakeknya siapa namanya Dik?"

"Eyang Gondo Rukem."

Brodin terperanjat, "kalau ini cucunya Mbah Gondo, berarti dia juga seorang mahluk halus dari golongan Gondowati."

"Tapi kok cantik begini, sedangkan kakeknya sangat menyeramkan."

"Ehm .. Ehm .. Bagaimana Mas? Mau menerima kiriman kakek?" Tanya Gadis itu.

Sejenak Brodin merasa ragu tapi cacing-cacing di dalam perutnya seolah mengajukan protes sehingga terdengar suara dari perutnya.

Brodin malu, sambil mengelus-elus perutnya ia menjawab, "mau Dik."

Diterimanya rantang makanan dari tangan gadis itu, "terima kasih, bagaimana saya mengembalikan rantang ini?"

"Besok siang saya ambil, saya mohon pamit." Jawab Gadis itu sambil berlalu pergi.

Setelah gadis itu pergi, Brodin membawa makanan itu ke dalam rumah. Dibukanya satu per satu tutup rantang itu. Isinya nasi dan sayur gudeg ditambah tempe, tahu bacem serta telor gudeg.

"Makanan kesukaan saya ini, tapi apa betul-betul bisa dimakan? Jangan-jangan nanti berubah?" Batin Brodin gamang. Lalu dilangkahinya makanan itu 3 kali, baru dicicipinya. Benar-benar makanan manusia. Setelah merasa yakin, dihabiskan tiga rantang makanan itu sekaligus.

"Alhamdulillah .." Batin Brodin.

Setelah makan, matanya terasa mengantuk maka bergegas ia menutup pintu lalu tidur.

Kira-kira jam tiga sore, ia mendengar pintu rumah diketuk. Brodin bangun lalu bergegas membuka pintu. Ternyata Sigit dan keluarganya yang datang ditambah dua orang yang belum dikenalnya. Seorang kakek dan seorang gadis.

Alangkah kagetnya ketika memandang gadis itu, sangat mirip dengan gadis yang mengantarkan makanan tadi siang. Namun dipendamnya saja perasaan itu.

"Aduh, mohon maaf sebesar-besarnya, kemarin tidak membangunkan mas lebih dulu, soalnya waktunya sangat mendesak sehingga kami harus segera berangkat." Kata Ibu Sigit.

"Tidak apa-apa Bu." Jawab Brodin sambil menyalami mereka satu per satu.

"Ini kakek Sigit, terus ini adiknya Sigit yang lagi kuliah di Yogyakarta." Kata Bapaknya Sigit mengenalkan.

Melihat tuan rumah baru datang, terlihat lelah dan sibuk maka Brodin mohon pamit kembali ke kamarnya.

Waktu makan malam, pintu kamarnya diketuk Sigit. "Ayo makan dulu." Berdua mereka makan, melihat makanan sebenarnya Brodin tanpa ragu-ragu lagi makan dengan lahapnya. Sigit hanya melongo melihatnya.

"Selama kami tinggal, kamu makan apa setiap harinya?"

"Makan pisang saja Mas. Dalam waktu tiga hari saya sudah menghabiskan hampir satu tandan pisang. Sekarang tinggal berkicaunya saja." Jawab Brodin sambil mencoba bersiul meniru suara burung.

Sigit tersenyum getir mendengar jawaban Brodin.

"Kuat kamu? Di Jakarta, sehari sudah makan 3 kali saja masih nambah makan mie rebus."

"Jelek-jelek begini, saya masih bisa menimbang mana yang baik dan mana yang kurang baik. Jika saya minta makanan sama tetangga atau saya keluar makan di warung, akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi keluarga Mas Sigit. Karena kita tinggal di desa dimana penduduknya memegang teguh fatwa bahwa menerima tamu adalah suatu kehormatan."

“Saya rela kelaparan demi menghormati Mas Sigit dan keluarga di sini.” Lanjut Brodin.
Sigit diam, kata-kata temannya ini menyentuh perasaannya.

"Sory Din, bukan maksud kami mau menelantarkan kamu di sini, keperluan kami sangat penting dan sangat mendadak sehingga tidak sempat ngurusin kamu."

"Tidak apa-apa Mas, saya dulu memang anak terlantar, hehehe."

Sigit tersenyum kecut.

Wis ora apa-apa mas. Sebentar saya mau melanjutkan makan dulu.”

Tidak lama kemudian, bapak, ibu dan kakeknya Sigit keluar lalu ikut bergabung dalam pembicaraan mereka. Setelah basa-basi sebentar, mereka terlibat pembicaraan yang penuh rasa kekeluargaan.

Karena lelah dalam perjalanan jauh, Sigit, Bapak dan Ibuya pamit istirahat lebih dulu. Tinggal Brodin dan Kakeknya Sigit.

Bapaknya Sigit bernama Bargowo, seorang guru SMP. Orangnya ramah dan pandai bercerita, berbeda jauh dengan Sigit yang pendiam. Sedangkan Ibu Sigit adalah sosok ibu rumah tangga yang baik, garis-garis kecantikan masih membayang diwajahnya meskipun umurnya sudah setengah abad lebih.

Sedangkan Kakeknya Sigit, bernama Pramono, ayah dari bargowo, setelah naik haji beliau menjadi seorang yang dituakan di desa ini. Penduduk desa memanggilnya Kyai Pramono. Sosoknya sederhana, badannya kurus terbalut baju koko dengan peci hitam di kepalanya. Wajahnya tirus, tatapan matanya tajam berwibawa.

Tinggal mereka berdua yang ada di meja makan. Sepertinya Kyai Pramono sengaja ingin mengutarakan sesuatu kepada Brodin.

Kyai Pramono diam sejenak lalu dipandangnya Brodin dengan seksama.

"Rupanya angger sudah berkenalan dengan penunggu rumah ini." Kata Kyai Pramono.
"Betul Eyang, tiga malam berturut-turut saya tidak tidur." Jawab Brodin, lalu ia menceritakan kejadian yang pernah di alaminya dengan sang penunggu rumah ini.

"Hehehe." Kyai Pramono tertawa terkekeh mendengar cerita Brodin.

"Mohon maaf Eyang, apakah boleh kita berteman dengan mahluk-mahluk gaib seperti Mbah Gondo itu?"

"Pada dasarnya kita ini sama-sama mahluk ciptaan Tuhan, namun berbeda alam. Yang tidak boleh jika kita lebih memuja mereka dan akhirnya men-Tuhankan mereka."

Sebagai manusia kita harus berhati-hati jika berhubungan dengan mereka, anggap mereka sebagai sesama mahluk Tuhan yang butuh perhatian, butuh kasih sayang dan rasa hormat.

Brodin manggut-manggut.

"Saya diberi hadiah sebuah cincin oleh Mbah Gondo, apa kegunaannya Eyang?" Tanya Brodin sambil menunjukkan cincin itu.

"Hmm .. Rupanya kalian sudah akrab." Gumam Kyai Pramono sambil mengamati cincin itu.

"Pakai saja, nanti kamu akan tahu dengan sendirinya, apa kegunaannya. Baiklah, saya mau istirahat dulu, lain kali kalau berjodoh kita akan bertemu lagi."

"Sebentar Eyang, siang tadi saya mendapat kiriman makanan, yang mengantar mirip sekali dengan adiknya Mas Sigit."

"Oh begitu, temanmu yang tinggal di pohon Rukem  itu bisa merubah wujud sesuai keinginannya. Bisa jadi siapa saja yang pernah dilihatnya."

"Baik, terima kasih Eyang."

Brodin kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya, Brodin diajak Sigit berjalan-jalan mengunjungi Curug Lawe. Disebut dengan Curug Lawe karena jatuhnya air terjun ini mengesankan untaian benang “lawe” yang sangat halus dan berwarna putih. Kata Lawe itu sendiri dalam bahasa Jawa berarti benang-benang halus.

Perjalanan menuju air terjun itu lumayan jauh, mereka berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang sedikit becek karena semalam hujan.

Empat hari terkungkung di rumah, membuat Brodin sangat menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan menuju air terjun. Hijaunya dedaunan membuat matanya segar, suara kicau burung dan aroma tanah tersiram air hujan membuatnya merasa menyatu dengan alam.

Satu jam mereka berjalan, sampailah mereka di Curug Lawe. Mereka duduk di atas bongkahan batu sambil menikmati pemandangan indah dihadapannya. Deru suara air jatuh, percikan air dan suara angin mendesis terdengar harmonis. Sesuai dengan namanya percikan air terjun ini seperti benang-benang halus yang di pintal oleh tangan-tangan halus. Sungguh indah.

Puas menikmati indahnya pemandangan Curug Lawe mereka memutuskan untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang Brodin sengaja melambatkan langkah kakinya sehingga tertinggal beberapa langkah di belakang Sigit, ia meraba-raba kantong celananya mencari cincinnya. Ia takut cincin itu akan hilang jika ditinggalkan di rumah. Setelah ketemu coba dikenakannya di jari manisnya, lalu berlari mengejar Sigit. Setelah dekat ditepuknya punggung Sigit.

“Buk..”

Sigit berhenti, matanya memandang berkeliling, mencari-cari siapa yang menepuk punggungnya. Ia tidak melihat orang lain di sekitarnya. Ia menduga ada mahluk gaib yang mengganggunya sehingga ia mempercepat langkahnya.

Brodin mengejarnya lalu menepuk kembali bahu Sigit sambil berkata, “Mas tunggu..”

Sigit semakin kebingungan, “tidak ada orang tapi sepertinya terdengar suara. Seperti suara Brodin. Apa Brodin lagi kumat isengnya terus menggangguku. Tapi dimana anak itu? ”

Sigit Berusaha mencari, tetapi tidak menemukan Brodin di belakangnya.

Brodin terkejut melihatnya, “Masak saya sedekat ini ia tidak melihatnya? Apakah karena saya mengenakan cincin ini sehingga ia tidak bisa melihatku? Saya coba sekali lagi.”

Ditepuknya lagi bahu Sigit. Sigit menoleh lalu berlari. Brodin mengejarnya dengan hati berbunga-bunga sambil melepaskan cincin di jarinya.

“Sekarang saya tahu manfaat cincin ini.” Batinnya girang.

Pulang jalan-jalan, mereka membersihkan diri lalu duduk di beranda rumah. Segelas kopi jahe sudah tersaji, minuman yang sudah lama dirindukannya. Hari ini, Brodin merasakan hidupnya kembali normal.

Sambil menyalakan rokoknya, Brodin duduk di salah satu kursi, Sigit duduk di seberangnya.
“Eyang Pramono mana Mas?”

“Eyang dijemput pagi-pagi sekali menuju Wonosobo untuk ceramah agama.”

Brodin diam sejenak.

“Kenapa tadi, waktu pulang, Mas berlari seperti dikejar setan?”

“Ada yang menepuk-nepuk punggung dan bahuku tapi tidak ada orangnya, lebih baik saya lari saja.”

Brodin ragu-ragu, mau berterus-terang atau merahasiakannya. “Ah, lebih baik ia tidak tahu daripada nanti aku diceramahin macam-macam.”

Lalu Brodin mengalihkan pembicaraan.

"Mas, adiknya sudah punya pacar atau belum?"

"Buat apa kamu tanya?"

"Saya suka melihatnya, cantik dan lemah lembut."

"Adik saya orangnya baik, tapi kalau pacaran sama kamu saya tidak setuju."

“Memangnya kenapa? Apakah saya kurang gagah?”

“Kamu memang gagah tapi kamu suka mabuk-mabukan dan tidak bisa menyimpan uang. Mau kamu kasih makan apa adikku nanti?

"Hehehe saya akan berubah Mas."

"Tapi gak enak Din, seandainya kamu jadi iparku bagaimana hubungan kita? Pasti kaku, jika kalian bertengkar saya pasti akan ikut campur."

Brodin diam, kata-kata Sigit benar.

"Tapi kalau sama-sama suka, boleh mas?"

"Terserah adikku saja."

"Baiklah kalau begitu. Tapi kenalin dulu dong." Pinta Brodin.

Sigit masuk ke dalam rumah lalu kembali lagi bersama adiknya.

"Ini teman satu kontrakan saya di Jakarta, mau kenalan sama kamu."

Brodin segera mengulurkan tangannya mengajak berjabatan tangan.

"Brodin, Broto Diningrat."

"Anggraeni."

Sejenak tangan mereka berpaut, getar-getar rasa mengalir ke pembuluh darah mereka, tatapan mata beradu membuat jantung berdetak lebih cepat. Bak Gayung bersambut, Brodin merasakan respon itu. Brodin seolah enggan melepaskan tangan halus itu, tapi Sigit segera menepiskan kedua tangan itu.

"Sudah jangan lama-lama." Kata Sigit sambil memberi isyarat kepada adiknya untuk segera masuk kembali.

Brodin merengut, "telek."

Brodin sekarang merasa betah tinggal dirumah Sigit, makanan tersedia dan ada harapan mendapatkan seorang kekasih meskipun masih belum jelas.

"Ini baru refreshing." Batinnya.

Sayang sekali waktu liburannya sudah habis dan Brodin harus kembali ke Jakarta, meninggalkan rumah Sigit, meninggalkan desa Parakan, meninggalkan kenangannya dengan Mbah Gondo serta meninggalkan Anggraeni. Gadis yang menarik hatinya.

Kembali menjalankan rutinitas kerja dan kembali merasakan pengapnya udara Jakarta.


0 komentar:

Posting Komentar